Minggu, 05 September 2021

Lembayung Senja


“Kak Agung?” ucap seorang gadis berjilbab biru muda yang dari tadi melihat buku-buku bekas yang aku jual.

“Sherin?” balasku dengan ragu. Benarkah dia adik kandungku? Sudah tiga tahun aku tak bertemu dengannya. Namun wajahnya masih ingat.

“Ya, aku Sherin, adikmu. Kakak harus pulang. Kasihan ibu, sering menyebut –nyebut nama Kakak.” Gadis itu mendekatiku lalu memeluk erat. Air matanya mulai berjatuhan. Sepertinya ia tak peduli dengan pandangan orang di sekeliling.

“Maafkan atas kesalahan kakak di masa lalu, Rin. Sekarang kakak udah berhenti mabuk-mabukkan, tawuran dan hal buruk lainnya,” jelasku dengan hati terharu. “Janji, tak akan mengulangi lagi.”

“Syukurlah, Kak. Ayah udah tiada. Kini aku sama ibu di rumah. Kakak harus pulang sekarang juga,” pintanya penuh harap.

“Apa?” Aku merasa kaget dan sedih mendengarnya. Menyesal sekali belum sempat minta maaf kepada ayah.

“Karena itu Kakak harus pulang. Jangan tunggu ibu menyusul ayah,” sambungnya dengan suara bergetar.

“Ya. Kakak pasti pulang. Sudah kanget sama ibu.” Aku melepaskan pelukan adikku.

“Segera kemasi barang Kakak,” pintanya dengan lembut.

“Baiklah. Rin, kakak bisa berubah karena Mas Yuda.” Aku menoleh ke arah Yuda, teman seperjuangan sebagai sesama penjual buku.

“Oh, gitu ya. Makasih banyak Mas Yuda atas bantuannya,” ucap Sherin sambil menoleh ke arah Yuda.

“Sama-sama, Mbak,” balas Yuda dengan ramah.

“Mas Yud, aku harap kamu ikut dulu ke rumah ibuku,” pintaku dengan serius.

“Wah nggak enak Mas Agung. Malu saya.”

“Ibuku pasti sangat senang kalo kamu ikut. Ikut ya Mas?” desakku pada lelaki muda bersahaja lagi baik hati tersebut. Jasa Yuda tak bisa disebut satu-satu. Terlalu banyak kebaikan yang ia berikan. Kesabaran dan ketangguhannya dalam mengarahkan ke jalan kebaikan membuat jiwa tersentuh. Ia telah kuanggap seperti saudara kandung.

“Kalo begitu, baiklah, Mas.” Yuda tersenyum ke arahku.
Akhirnya Yuda ikut juga. Semua barang dagangan di bawa ke dalam mobil yang di bawa Sherin. Kami pun pergi menuju kea arah barat.

The end.


Kalimat Penggetar Jiwa

Buatlah kata-kata yang menggetarkan hati. Carilah itu dimanpun kita menemukannya, dan kumpulkanlah karena pengaruhnya begitu indah ke dalam jiwa.

Suara hati itu bisa terlihat gejalanya dalam kata-kata, sikap dan tindakan.

Sekarang, coba Anda baca kalimat di bawah ini dengan hati Anda, kira-kira apa yang Anda rasakan? Selamat merasakan. 

Misalnya, Anda sering sekali menyakiti hati teman Anda, dan Anda sadar, itu salah, lalu Andapun minta maaf, dan dia menjawab seperti ini:
“Sudahlah, Aku telah memaafkan semua perlakuan burukmu padaku, kamu tak perlu bersedih hati dan menangisi itu semua. Selalu ada harapan untuk memperbaiki diri. Aku tidak apa-apa, sungguh Engkau tetap sahabatku.”


Seorang anak gadis, menangis, karena takut dimarahi ayahnya. Sebabnya karena uang yang dibawanya untuk membeli sebuah barang, hilang entah kemana. Inilah dialog mereka:
“Ayah, maafkan aku telah mengecewakanmu, dan membebanimu. Aku sadar, betapa sulitnya bagi Ayah untuk mendapatkan uang sebanyak 1 juta itu. Aku menyesal Ayah karena tak sungguh-sungguh menjaga uang itu, aku berjanji tak mau mengecewakan Ayah lagi, tak akan kuulangi lagi Ayah,” ujar sang anak sedih.
“Anakku, Engkau tak perlu bersedih terlalu dalam. Walaupun uang  yang 1 juta itu telah hilang, ayah tetap menyayangi dan mencintaiMu. Engkau tetap anakku yang terbaik. Sudahlah, Nak, tetaplah tenang, selalu ada jalan untuk mencari uang,” balas sang ayah sangat bijaksana.

Ketika Anda pulang kerja, Anda belum mendapat uang yang cukup, Anda kecewa dan takut istri Anda kecewa. bagaimana perasaan Anda jika istri Anda bicara seperti ini?
“Suamiku, Sayang, tak perlu bersedih, bersabarlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu bersama kesabaran, yakinlah Sayang, jangan ragu kepada Allah dan rasul-Nya.”
“Alhamdulillah, saya benar-benar lupa tentang itu. Sungguh bahagia diriku punya istri secerdas dirimu, semoga Allah menyayangiMu.”

Seorang anak laki-laki diajak pacaran oleh seorang anak perempuan, masih sesama anak SMA. Namun, si anak laki-laki menjawab seperti ini:
“Alya, jika kamu ingin menumpahkan kejengkelanmu padaku, maka tumpahkanlah itu. Tapi aku takkan merubah keputusanku. Aku juga sebenarnya menyukaiMu, Alya, tapi aku tak mau pacaran, kita masih SMA Alya, maafkan aku, ini sudah prinsipku,” ujar pemuda itu.
“Aku menyukai perilakumu, hatiku terasa pedih dan sakit ketika kamu menolak cintaku, tetapi tak apa-apa, Allah benar-benar di atas segalanya  bagimu. Kamu sebenarnya adalah Pria idamanku Wan. Kamu baik hati, tegas, jujur, penyayang, dan sopan."