Kamis, 11 Februari 2016

Smart Silent Killer




Seorang koruptor kelas kakap terbujur kaku di kamarnya. Sudah 3 koruptor yang melayang ke alam baka tahun ini. Keluarganya meratapi kepergian sang pencuri uang rakyat tersebut. Tak ada jejak yang ditinggalkan oleh si pembunuh kecuali sebuah lubang dengan diamater 0,5 cm di dahi sang pencuri terhormat tersebut.
“Tak ada jejak kaki ataupun jejak peluru di kamarnya,” jelas polisi kepada para wartawan yang telah bergerombol di rumah sang koruptor yang kebal hukum tersebut.
“Jadi, pembunuhnya belum bisa dilacak, Pak? Padahal sudah tiga korban kan?” tanya seorang wartawati.
“Kita serahkan saja kepada yang lebih mengerti masalah ini,” balas pak polisi sambil menarik napas perlahan.
Kematian tiga koruptor telah membuat para koruptor lainnya sangat gelisah. Bayangkan saja, sudah 4 bulan, sang pembunuh belum juga ditemukan jejaknya.
***
Jauh dari keramaian kota, seorang lelaki tersenyum puas melihat berita tersebut. “Dan yang ke empat akan segera menyusul,” katanya dengan penuh keyakinan.
***
Sang Presiden geram dengan pembunuh para tangan kanannya—tiga koruptor yang telah mati. Langkah-langkah pun diambil untuk mencari jejak si pembunuh misterius tersebut.
“Segera lakukan penyelidikan di TKP,” perintah lelaki bertubuh tinggi besar tersebut.
“Baik Tuan,” sahut kepala polisi dengan penuh hormat.
Dalam sekejap, rumah sang koruptor yang telah mati tersebut dijaga ketat serta dibentengi oleh garis polisi. Para polisi berjaga di sekelilingnya.
***
“Tak ada jejak sedikit pun yang kutemukan di rumah ini,” jelas seorang penyelidik dengan mimic wajah kecewa.
“Jadi, menurutmu bagaimana cara pembunuh masuk ke kamar ini?” sang jenderal mengerutkan keningnya.
“Tuan, pembunuhnya bukan penembak jarak jauh. Dia tidak mungkin melakukan dari jarak jauh, tak ada bukti yang mengarah ke sana. Lihat saja baik-baik, tak ada bekas peluru di sini. Saya yakin, ini dari jarak dekat,” urainya dengan penuh keyakinan.
“Oke, Frang. Lalu adakah petunjuk dari luka di tubuh korban yang bisa kamu telusuri?” sambung sang Jendral lagi.
“Itu bukan ulah senjata laser. Saya sudah mengenal berbagai senjata laser yang ada di dunia ini beserta hasil-hasilnya. Namun, dalam kasus ini pembunuh tidak memakai senjata laser. Bekas luka tersebut harus diteliti di lab.”
Kemudian mayat pun dibawa untuk penelitian lebih lanjut.
***
Penelitian telah berjalan selama 10 jam. Namun para peneliti belum mampu menyingkap misteri di balik pembunuhan tersebut.
Menginjak jam ke-11, penelitian berakhir karena karena tiba-tiba kepala mayat mengalami perubahan. Mula-mula kepalanya menghitam, lalu mengeras dan terakhir hancur menjadi abu. Demikian juga dengan tubuhnya.
“Gila! Senjata macam apa yang digunakan?” seorang peneliti ahli terlihat kebingungan.
“Ya Tuhan, ini benar-benar membingungkan,” sambung peneliti lainnya.
***
“Randez, ada perkembangan?” tanya sang Presiden saat sang Jenderal baru saja tiba di istana negara.
“Kami kehilangan jejak, Tuan. Si pembunuh telah menghancurkan jejaknya,” jelas Randez dengan wajah lesu.
“Apa yang terjadi?” lanjut sang Presiden dengan ekspresi gelisah.
Randez menjelaskan dengan rinci semua yang telah terjadi di ruang penelitian.
“Jangan buang abunya, aku akan membawa ahli dari luar negeri.” Ia bangkit dari duduknya dengan raut muka cemas. “Perketat penjagaan para pejabat negara.”
“Ya Tuan.” Setelah tak ada lagi yang hendak disampaikan sang Jenderal pergi dari depan majikannya.
***
Dua orang ahli dari luar negeri telah tiba. Reidon menyambut dengan hangat kedatangan mereka.
“Tuan Presiden, lama tak jumpa.” Seorang lelaki berkacamata super tipis mengulurkan tangannya.
“Diegas, Riadres, bagaimana kabar kalian?” Sang Presiden menyambut kedua tamunya tersebut dengan ramah.
“Baik Tuan.”
Setelah ngobrol beberapa menit, kedua tamu tersebut diantar oleh tentara dengan senjata lengkap menuju gedung penelitian.
***
“Tuan Randez, ini adalah pembunuhan yang dilakukan dengan sangat cerdas dan super canggih. Penyelidik yang bodoh tak mungkin menemukan jejak dalam kasus ini,” ucap Riadres dengan nada angkuh.
“Beri kami waktu beberapa hari untuk menemukan jejak pembunuh ini. Sepertinya kami pernah membaca eksperimen seperti ini,” sambung Diegas dengan penuh optimis.
“Para saintis kelas kakaplah otak di balik semua ini. Aku sudah menduga ke arah sana. Tinggal memburu jejak mereka.” Riadres tersenyum ke arah Diegas.
“Ya, itu pasti.” Diegas mengangguk tanda setuju.
“Peralatan canggih kami akan segera bekerja. Bilang sama majikan Anda, petunjuk itu akan segera kami dapatkan,” ucap Riadres kepada Randez.
“Baik Tuan. Akan segera saya laporkan. Terima kasih.” Randez keluar ruangan, lalu pergi menuju istana negara.
***
Sudah dua jam Riadres dan Diegas bekerja keras. Berbagai peralatan super canggih telah mereka gunakan.
“Gas, kamu kenal senyawa ini?” tanya Riadres sambil tersenyum.
“Asam Amilia, milik Profesor Milena. Tak ada yang tahu cara membuat asam tersebut selain penemunya sendiri dan murid-muridnya.” Diegas berpikir keras untuk mengingat kembali murid-murid Profesor Milena.
“Tapi ada unsur lain yang belum aku kenal. Ini orang benar-benar cerdas. Dia hanya meninggalkan jejak 10 % untuk kita.” Riadres menggeleng. Diam-diam dia mengagumi hasil kerja musuh sahabatnya tersebut.
“Kamu masih ingat dengan murid Profesor yang terlihat sangat menonjol kecerdasannya?” lanjut Diegas lagi.
“Milisto? Dia kan sudah mati setahun yang lalu.”
“Tapi, kita tak tahu, mungkin saja Milisto punya murid yang sama cemerlangnya dengan dirinya,” urai Diegas lagi.
“Aku penasaran, ingin melihat kamar korban. Siapa tahu ada jejak di sana.” Riadres menawarkan sebuah ide.
“Menurut Jenderal Randez, tak ada jejak di sana.” Diegas mengingatkan.
“Kamu percaya penuh dengan omongan Jenderal bodoh tersebut?” bisik lelaki berkaca mata tipis itu tersenyum dengan sombong.
“Tidak.”
***
Riadrez dan Diegas telah tiba di kamar korban ditemani Randez. Mereka melakukan pelacakan dengan memakai peralatan canggih. Detektor pelacak mereka sedang bekerja.
“Lihat lubang kecil berdiameter 1,5 cm itu. Terlihat rapi dan dibuat secara cerdas.” Riadres menunjuk ke arah kaca berlubang, lalu melirik ke arah Rekannya dan Randez.
“Maksud Tuan, pembunuh itu masuk melalui lubang kaca tersebut?” Randez mengerutkan kening. Ia tampak ragu.
“Anda pikir ini pekerjaan hantu?” Riadres tersenyum meledek.
“Tuan Randez, akal orang awam akan menyangkal hal ini.” Diegas menguatkan pernyataan temannya.
“Gas, kira-kira makhluk macam apa yang masuk ke sini?” lelaki sombong itu melirik ke arah kawannya sambil menunjuk ke lubang kecil di kaca.
“Meralias Swingos?” Diegas mencoba menebak-nebak.
“Sepertinya begitu. Atau yang mirip dengannya,” sahut Riadres.
“Istilah apa itu, Tuan?” sang Jenderal mengernyitkan keningnya.
“Maafkan kami Tuan Randez, orang awam akan sulit mencerna hal ini, walaupun kami telah menjelaskan panjang lebar.” Riadres menatap Randez dengan tatapan meremehkan.
‘Kurang ajar, dua orang ini sombong sekali. Seandainya presiden tak membutuhkan kerjanya, sudah kubunuh mereka,’ gerutu Randez dalam hatinya.
“Kita harus membuat jebakan, Tuan Randez. Si pembunuh pasti akan beraksi lagi,” ucap Riadres. Ia berdiri di depan pintu kamar. “Saatnya membuat rencana. Jangan buang-buang waktu.”
“Benar, Tuan Riadres. Mungkin target berikutnya adalah Pak Presiden,” sahut Randez sambil menebak-nebak.
“Pasti. Presidenmu akan berubah jadi abu jika kita didahului oleh mereka,” sambung lelaki bermata hijau tersebut dengan senyuman jahatnya.
Dua lelaki tersebut diantar Randez menuju tempat peristirahatan yang telah disediakan presiden. Tempat tersebut dijaga sangat ketat oleh aparat keamanan.
***
Tobe continue
Bandung, 10-02-2016