Pagi
itu langit tampak mendung sekali. Tepatnya di daerah Suka Miskin hujan turun
deras sekali. Saat itu Dani dan istrinya, Fitri, dengan Avanza merahnya sedang
melaju dengan kecepatan lambat menuju arah barat. Baru beberapa meter, mata
Fitri melihat sesuatu yang mengagetkan di pinggir jalan.
“A,
lihat itu! Ada tubuh yang tergeletak di bawah pohon. Mana lagi hujan besar.
sepertinya dia seorang pedagang. Soalnya
ada keranjang kecil di sisinya,” Fitri mengarahkan telunjuknya ke arah tubuh
yang tergeletak itu.
“Mana
Fit?” Dani bertanya sambil mengikuti arah telunjuk Fitri.
“A,
coba mobilnya ke pinggirkan. Aku kasihan melihatnya. Cepat ya A. kita tolong
saja.” Pinta Fitri agak memaksa.
“Tunggu
Fitri, apa ini bukan sebuah jebakan?”
“Kenapa,
Aa takut mati? Apakah ini perbuatan yang salah dalam pandangan Allah?” sahut
Fitri dengan suara lembut sambil terus mengarahkan pandangannnya ke arah tubuh
tersebut. Setelah lebih dekat, Fitri
melihat ternyata ia seorang wanita.
Mobil
mereka telah berhenti di pinggir jalan tepatnya di bawah pohon dekat tubuh
wanita itu terbaring. Suasana terasa hening sejenak. Dani tampak merenung untuk
beberapa saat. Nampaknya ia mencoba merenungkan dan menghayati ucapan istrinya
yang menembus relung-relung hatinya.
“Baiklah
istriku Sayang, hatiku mengerti sekarang. Terima kasih telah mengingatkanku.
Kita serahkan saja semuanya kepada Allah. Tak ada niat buruk dalam hati kita.
Hasbunallah wani’mal wakil[1],”
bisik Dani kepada istrinya dengan penuh keyakinan.
Kemudian
mereka mengambil jas hujan sebelum keluar mobil. Lalu pintu mobilpun terbuka
perlahan. Fitri keluar disusul Dani menuju ke arah tubuh yang masih tak
bergerak itu. Sementara itu hujan masih turun dengan derasnya.
“Masya
Allah, A! ternyata seorang gadis belia. Dugaanku benar, A. ia seorang pedagang makanan,”
teriak Fitri kaget. Ia melihat pisang goreng, bala-bala dan makanan lainnya
tercecer di sekitar gadis itu.
“A,
ko malah bengong. Ayo kita bawa gadis ini ke dalam mobil untuk kita selamatkan
nyawanya,” Fitri tampak kesal melihat suaminya yang terdiam.
Dani
tetap terdiam. Ia tampak seperti berpikir lagi. Ia terdiam untuk beberapa
menit.
“Fit,
tunggu di sini sebentar. Aku mau ke warung itu dulu.”
“Iih
Aa tuh gimana sih! Jangan membuat aku jengkel dong, A!” Fitri tambah kesal
dengan tingkah laku suaminya.
“Pokoknya
tunggu di sini. Jangan cerewet,” dengan wajah tenang Dani kembali membalas
tanpa secuil alasanpun. Ia berlari dengan agak cepat ke arah barat menuju
sebuah warung yang jaraknya kira-kira 200 meter dari tempat tergeletaknya
wanita itu.
Setelah
sampai di depan warung itu kemudian Dani mulai berdialog dengan orang yang ada
di warung tersebut. “ Bu, maaf mengganggu sebentar. Ibu bisa membantu saya
nggak?” Pinta Dani dengan nafas agak terengah-engah.
“Mhh,
ada apa Nak?” Tanya si ibu penuh tanda tanya. “ Apa yang bisa Ibu bantu?”
Lalu
Dani menceritakan apa yang telah dilihatnya. Mendengar hal itu si Ibu terlihat
kaget. Ia langsung mengambil payung dan iapun melangkah dengan agak cepat
bersama Dani menuju tempat tergeletaknya wanita muda itu.
“Haah,
ini Nina! Nak, ayo cepat bawa ke rumah ibu ya,” Si Ibu terlihat sangat kaget,
khawatir dan salah tingkah. Tanpa banyak berpikir, Dani dengan Fitri langsung
membawa tubuh tersebut ke dalam mobil. Si Ibu juga ikut.
Setelah
sampai di depan warung, Dani langsung turun dari mobil dan membawa tubuh wanita
muda itu ke dalam rumah ibu pemiliki warung tersebut.
“Neng,
kita bawa tubuh Nina ke kamar ibu, ya.”
“Mangga
, Bu,” sahut Fitri tanpa banyak basa-basi. Kemudian mereka berdua membawa tubuh
Nina ke dalam kamar.
“Neng,
kita letakkan di atas karpet saja. Nggak apa-apa basah juga.”
“
Baik Bu,” jawab Fitri singkat.
“Neng,
tolong keringkan tubuh Nina dengan handuk ini, ya? Dan ini selimutnya,” pinta
si Ibu sambil menyerahkan sebuah handuk biru tua dan selimut biru tebal kepada
Fitri. Lalu si Ibu keluar dari kamar itu
entah kemana.
Dengan
perasaan grogi Fitri membuka pakaian Nina yang basah kuyup dengan sangat
hati-hati. Setelah beres iapun mengeringkan tubuh Nina dengan handuk yang telah
tersedia. Lalu ia menyelimuti tubuh nina dengan selimut biru.
Tak
lama kemudian datanglah si ibu dengan membawa pakaian. “ Neng, ini pakaian
punya anak Ibu yang masih sekolah di SMU. Pakaikan ke Nina, ya Neng, Ibu mau
mengambil minyak kayu putih dulu.”
“Ya,
Bu,”Fitri kemudian memakaikan pakaian itu sambil menatap wajah Nina. Tiba-tiba
saja kedua matanya mengeluarkan butiran-butiran bening. Satu persatu berjatuhan
ke atas tubuh Nina. Rupanya ia terharu. Setelah selesai ia kembali menyelimuti
Nina dengan selimut biru itu.
Tak
lama kemudian si ibu warung masuk lagi dengan membawa minyak kayu putih,
segelas air jeruk dan segelas teh manis hangat.”Alhamdulillah,telah beres ya
Neng.”
Kemudian
si ibu warung meletakkan jus jeruk dan teh manis diatas lantai. Ia jongkok lalu
membuka tutup botol minyak kayu putih. Lalu iapun mengoleskan minyak kayu putih
ke daerah yang terletak antara bibir dan hidung. Setelah selesai ia keluar
lagi.
Tubuh
Nina masih tergeletak tak berdaya. Lalu Fitri mengambil minyak kayu putih yang
ada di samping tubuh Nina kemudian berdoa dengan khusyu penuh kerendahan
hati,”Ya Allah sadarkanlah gadis ini.” Fitri mengoleskan minyak kayu putih ke
bagian bawah hidung Nina.
Setelah
beberapa menit, Nina tampak mulai siuman. Kedua matanya mulai terbuka perlahan.
Fitri merasa gembira melihatnya. Beberapa menit kemudian terdengarlah suara
Nina yng masih lemah,” Ibu, Ibu! Oh, dimana aku?”
Bersamaan
dengan itu datanglah si ibu warung membawa segelas teh manis untuk
Fitri.”Alhamdulillah, akhirnya Nina siuman juga. Syukurlah.”
Fitri
mengangkat kepala Nina sedikit agar bisa meminum teh manis yang telah tersedia.
Fitri mengambil segelas teh manis untuk Nina dan kemudian mendekatkannya ke
bibir Nina. Ninapun meminumnya sedikit demi sedikit.
“Teteh,
makasih ya. Teteh baik sekali,” bisik Nina sambil menatap wajah Fitri dengan
rasa senang dan terharu.” Bu Ria, makasih juga ya atas kebaikan ibu.”
“Oh,
nggak apa-apa Nin, itu sudah menjadi kewajiban ibu. Eh, Nina suka madu nggak.”
“Suka,
Bu.”
“Ya,
syukurlah. Kalau begitu ibu mau buatkan segelas minuman madu supaya Nina cepat
pulih. Tunggu ya,” Ibu Ria kemudian melangkah keluar kamar lagi. Tak lama
kemudian datanglah Ibu ria membawa segelas madu yang telah dicampur dengan air
hangat dan sekaleng kue wafer.
“Nin,
ini, minumlah Nak. Dan ini wafer kesukaanmu,” ujar Bu Ria dengan membawa
segelas minuman dan sekaleng wafer.
“Baiklah,
Bu. Makasih banyak atas pertolongannya,” balas Nina. diambilnya segelas madu
kemudian langsung meminumnya.
“Eh,
Adik udah makan, belum?” Fitri mulai berempati.
“Belum
Teh. Dari pagi saya belum makan.”
“Wah,
kasihan atuh. Silahkan wafernya diminum ya,” ujar Bu Ria.
“BU,
masak wafer diminum sih,” Fitri tersenyum mendengarnya.
“Hehe..
Bu Ria, masak saya harus minum wafer, ah,” Nina ikut tersenyum sambil memandang
Bu Ria.
“Eh,
iya lupa. Maklum sudah tua, hehe. Eh, Neng namanya siapa ya? Terus itu yang tadi suaminya ya? ”
“Bu
Ria, nama saya Fitri. Yang duduk di depan namanya Dani. Ia suami saya. Kami
baru menikah 2 bulan,” sahut Fitri tersenyum manis.
“Ooh,
pengantin baru toh. Cocoklah Neng. Sama-sama baik hati, dan cakep,” balas Bu
Ria tersenyum. Ia mengedipkan matanya
kepada Nina.” Neng, silahkan dimakan Wafernya. Nin, ayo makan. Supaya cepat
pulih.”
“Iya,
Bu. Baiklah. Teh Fitri, temani saya makan ya,” Nina melirik Fitri . tangan
kanannyal mengambil kue wafer.
“Iya
Dik. Teteh temani deh,” balas Fitri. Dan
iapun mengambil kue wafer dari kalengnya.
Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Nina, Fitri,
Dani dan Ibu Ria berada di ruang tengah. Kini Nina telah kelihatan agak pulih.
“Bu
Ria, saya mau pulang dulu. Makasih banyak atas pertolongannya, Bu. Semoga Allah
membalas kebaikan Ibu. Maafkan saya karena telah merepotkan keluarga Ibu di sini. Saya tak bisa membalas kebaikan
Ibu,” Ucap Nina dengan air mata berurai.
“Tak
apa-apa Nin. Sudahlah, jangan dipikirkan. Ibu rela kok, Nin. O ya, baju Nina
yang basah sudah dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam. Adapun baju anak
Ibu, pake saja dulu ya.”
“Ya,
Bu. Makasih banyak,” Nina mencium tangan Ibu Ria dengan penuh rasa hormat.
“Bu
Ria, terima kasih banyak atas semua bantuannya. Semoga Allah membalas kebaikan
Ibu,” susul Dani.
“Iya,
Bu. makasih banyak atas kebaikannya hatinya,” Fitri tak mau ketinggalan untuk
mengucapkan seucap kata terima kasih.
Akhirnya
mereka bertiga pamitan kepada Ibu Ria untuk pergi menuju rumah Nina. Mereka
bertiga melangkah perlahan menuju Avanza merah. Sebelum melajukan kendaraannya,
Dani melambaikan tangannya kepada Ibu Ria. Nina dan Fitripun melambaikan
tangannya tak mau ketinggalan.
Avanza merah bergerak perlahan ke arah barat
meninggalkan warung Ibu Ria. Rupanya hujan telah berhenti. Hanya tinggal
sisa-sianya saja. Jalan terlihat licin karena derasnya hujan.
“Nina,
rumahmu di sebelah mana Dik,” Fitri melirik Nina.
“Teh,
di depan nanti ada jalan besar di sebelah kiri. Dari situ lurus saja. Kira-kira
telah mencapai 500 meter, kita berhenti. Terus ada gang kecil. Kita masuk ke
gang tersebut. Rumah saya dekat dari gang itu.”
“Wah,
jauh juga kamu jualan. Apa nggak cape tiap hari jalan kaki, Nin?” Fitri
mengerutkan keningnya.
“Ya,
kalau nggak begitu, bagaimana dengan keluarga saya, Teh,” Nina menundukkan
kepalanya. Tampaknya ia seperti
menyimpan beban yang cukup berat.
Mobilpun
belok ke kiri ketika jalan itu telah di depan mata. Kemudian bergerak perlahan
menuju tempat Nina.
“Dik,
dimana kita bisa parkir?” tanya Dani dengan suara agak keras agar terdengar
jelas oleh Nina.
“Di
bawah pohon jambu itu, A,” ujar Nina. ia menunjuk ke sebuah pohon jambu air yang besar.
Setelah
mereka turun, kemudian mereka berjalan menelusuri sebuah gang kecil. Nina
berjalan paling depan sebagai penunjuk jalan. Adapun Dani dan Fitri di
belakangnya. Akhirnya, sampailah mereka ke sebuah rumah yang sangat sederhana
sekali. Dinding atasnya adalah bilik bambu, dinding bawahnya memakai bata dan
lantainya adalah tanah. Seperti sebuah rumah yang belum selesai.
“Aa
dan Teteh, inilah gubuk kumuh kami,” ungkap Nina merendah. Lalu ia mengetuk
pintu perlahan.” Tok..tok..tok..assalamu’alaikum.”
“Dik,
jangan bicara seperti itu. Nggak baik lho. Derajat kemuliaan manusia bukan di
ukur dari rumahnya. Jangan merendah di depan kami,” suara Fitri mengalir
perlahan namun jelas sekali memasuki hati Nina.
“Iya,
Teteh Cantik. Makasih atas nasihatnya,” jawab Nina sambil tersenyum penuh rasa
hormat kepada Fitri.
“Waalaikum
salam,” terdengar suara gadis kecil dari balik pintu.
Tiba-tiba
pintu terbuka perlahan. Tampaklah seorang gadis kecil.
“Teteh
kemana saja. Icha khawatir banget akan keselamatan Teteh. Waktu berangkat
jualan Teteh kan belum sarapan. Takut terjadi apa-apa, ” ujar gadis kecil itu.
Iapun memeluk Nina dengan erat.
“Teteh
nggak apa-apa kok Sayang. Teh Fitri, A dani, silahkan masuk,” Nina memeluk dan
mengelus kepala Icha dengan lembut kemudian mengajak Fitiri dan Dani untuk
masuk.
“Makasih,
Nin,” Dani masuk lebih dulu diikuti istrinya. Kemudian mereka duduk di atas
selembar tikar yang telah tua, namun terlihat bersih.
“Nina
tinggal bersama siapa di sini?” tanya Fitri penuh penasaran. Pandangannya berkeliling
melihat-lihat kedaan rumah.
“Dengan
ibu dan adik. Ini adik saya, Icha. Cha, ibu lagi dimana?”
“Lagi
di dapur, Teh.”
“Sebentar
ya, saya mau ke dapur dulu,” kemudian Nina dan Icha melangkah menuju dapur.
“Oh,
silahkan Nin,” balas Fitri. Adapun Dani terlihat diam saja. Nampaknya ia sedang
berpikir. Entah apa yang dipikirkannya.
Tak
lama kemudian, datanglah Nina dengan membawa dua gelas teh manis, dan Icha
membawa makanan. Terlihat pula seorang wanita
mengikuti mereka. Nampaknya itulah ibunya Nina dan Icha.
“Rupanya
ada tamu. Uhuk uhuk! Neng dan Aden ini dari mana ya,” wanita itu terdengar
batuk beberapa kali. Matanya yang sayu menatap Dani dan Fitri yang tampak
cantik dengan jilbabnya yang rapi. Ia nampak heran dengan kedua tamunya itu.
Iapun duduk menghadap kepada tamunya. Namun, ia kelihatan minder. Wajahnya
menunduk.
“Saya
dan istri saya ketemu anak ibu di jalan raya. Ketika,,,,” Dani membalas
pertanyaan si Ibu. Namun ia tak melanjutkan ucapannya, karena ia melihat Nina
seperti memberi isyarat untuk tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya.
“Ketika
Nina sedang jualan, Bu,” Dani melanjutkan jawabannya.
“Nina
jualannya tiap hari ya bu,”Fitri menyambung ucapan suaminya sambil mengalihkan
arah pembicaraan.
“Iya
Neng,” jawab si ibu singkat. Ia kembali menundukkan matanya. Sepertinya ia tak
mau bertatapan langsung dengan Fitri. Iapun tak berani menanyakan sesuatu pada
Dani. Ia hanya diam saja.
“Aa,
Teteh, silahkan diminum. Nggak ada apa-apa kok, Teh. Cuma ada makan
alakadarnya,” Nina mempersilahkan Fitri dan Dani untuk mencicipi makanan dan
minuman yang telah ada di depan mata.
“Cha,
kelihatannya ibu sakit ya?” Dani melirik Icha sambil meminum teh manis yang
telah disediakan.
“Iya,
A. Ibu udah seminggu sakit batuk. Nggak ada biaya buat berobat.”
“Ayah
Icha kemana?”
“Udah
nggak ada, A.”
“Innalillahi
wa inna ilahi raji’un. Kasihan sekali Icha,” tanpa terasa air mata keluar dari
kedua mata Fitri tanpa bisa ditahan. Ia memang orangnya begitu. Tak tegaan
melihat penderitaan orang. Apalagi penderitaan anak kecil.
Dani
terlihat menundukkan kepala. Ia tak menangis seperti istrinya. Namun, wajahnya
kelihatan sedih. Mungkin hatinya tersentuh dengan keadaan keluarga Nina.
Seorang muslim yang beriman tentu akan terharu melihat keadaan keluarga Nina
yang tampak begitu menyedihkan.
“Nina,
bisa antar Teteh ke dapur?” tiba-tiba Fitri bangkit dari duduknya dan
mengarahkan pandangannya kepada Nina.
“Mangga,
Teh,” Nina ikut berdiri.
“Maaf
ya, Bu. saya ikut ke dapur dulu,” pinta Fitri.
“Mangga,
Neng.”
Kemudian
Fitri dan Nina melangkah menuju ke dapur. Setelah tiba di dapur Fitri
mengelilingkan pandangannya dan bertanya,” Nina, dimana tempat menyimpan
berasnya?”
“Di
sana, Teh, di sudut kanan.”
Kaki
Fitri perlahan melangkah menuju tempat tersimpannya beras. Setelah terlihat,
tiba-tiba Fitri menangis. Namun, tak keras karena ia tahan.
“Teh,
kenapa menangis?” tanya Nina.
“Ooh,
hik hik hik,” Fitri terus menangis. Ia tak bisa bicara. Emosinya telah menguasai
jiwanya. Iapun mendekati Nina dan memeluknya dengan penuh rasa sayang. Kepala
Nina dielusnya dengan lembut.
“Nina,
tolong suami saya suruh ke sini,” bisik Fitri pelan.
Nina
melangkah menuju ruang tengah. Tak lama kemudian datanglah Dani.
“A,
lihat ke sini,” Fitri menarik tangan Dani sambil melangkah menuju tempat
penyimpanan beras. Setelah dekat Danipun menunduk.
“Inna
lillah,” Dani terus menunduk di dekat tempat penyimpanan beras.Ia melihat hanya
segenggam beras yang masih tersisa di sana. Kali ini ia kalah
oleh air matanya. Ia tak mampu lagi menahan air matanya yang sejak tadi ia
tahan. Dani menarik napas perlahan, dan iapun menghapus air matanya dengan sapu
tangan yang ada di saku jaketnya.
“A,
kita pergi ke luar, yuk. Aa kan sudah melihat sendiri keadaan saudara kita ini.
Mereka sangat membutuhkan bantuan,” ajak Fitri sambil menarik tangan Dani
dengan lembut sambil melangkah ke ruang tengah.
Setelah
sampai di ruang tempat berkumpul, Fitri, Dani, dan Nina kembali duduk bersama
ibunya Nina dan Icha.
“Bu,
sebelumnya saya minta maaf, saya nggak ada niat buruk. Saya dan istri saya
ingin mengajak keluarga ibu untuk jalan-jalan ke luar sebentar. Mau kan Bu?”
Dani berusaha membujuk sang Ibu.
“Jangan,
Nak. Ibu tak mau merepotkan keluargamu. Jangan ya.”
“Iya
,Aa. Jangan. Kami malu sudah banyak merepotkan keluarga Aa,” susul Nina dengan
halus menolak ajakan Dani.
“Tak
apa-apa, Bu. kami tak merasa direpotkan. Justru kami sangat senang bila bisa
menyenangkan Ibu dan anak-anak ibu. Nina Sayang. Kalau Nina menganggap teteh
sebagai kakakmu, jangan tolak permintaan teteh. Bisa kan Sayang?” Fitri angkat
suara. Ia membantu Dani untuk membujuk keluarga Nina.
“Cha,
kenapa Icha pucat begitu,” Fitri memandang Icha dengan tat5apan haru.
“Belum
makan dari pagi. Badanku juga kurang sehat, ” jawab Icha lemah. Wajahnya tampak
pucat.
Tanpa
banyak basa-basi Dani keluar dari rumah. Tak ada yang tahu entah kemana Dani
pergi.
“Aaa,
mau kemana?!” teriak Fitri. Namun terlambat, Dani telah pergi dengan cepat.
Beberapa
menit kemudian,” Assalamu’alaikum.”
Dani
datang kembali dengan membawa makanan dan buah-buahan.
“Ooh,
rupanya Aa mengambil makanan ya. Maafkan aku ya A. suka berburuk sangka padamu.
He he ,” Fitri tersenyum malu pada suaminya.
“Tak
apa-apa. Lain kali jangan ulangi lagi ya,” Dani membalas senyuman istrinya lalu
meletakkan makanan dan buah-buahan di atas tikar tua itu.
“Nina,
tolong ambilkan piring dan sendoknya ya. Kasihan adikmu,” pinta Fitri.
Nina
segera melangkah ke dapur. Tak lama kemudian iapun membawa piring dan sendok.
Fitri
mengambil piring dan sendok. Lalu mengeluarkan sebungkus roti tawar yang bagus,
selai strawbwerry, dan mentega.
“Cha,
ini makan coba. Enak lho Cha,” Fitri menawarkan roti tawar yang telah
diolesi mentega dan selai strawberry.
“Iya,
Teh. Kayanya enak ya,” Icha tersenyum menatap roti spesial yang ditawarkan
Fitri lalu iapun mengambilnya. Lalu Icha memakannya dengan lahap sekali karena
ia telah merasa lapar.
“Ibu
dan Nina kalau mau silahkan ambil,” Fitri memandang Nina dan ibunya. Nina
mengambil satu dan ibunyapun mengambil satu.
Dani
kelihatan lega melihat keluarga Nina memakan apa yang telah dibawanya. Ia puas
dan mengucapkan rasa syukur dalam hatinya kepada Yang Maha Pemberi Rezeki.
“Bu,
ini 2 bungkus roti, 2 bungkus mentega dan 1 botol selai strawberry untuk keluarga
ibu di sini. Ambil ya Bu, jangan menolak pemberian kami,” Dani menyerahkan
semua itu kepada ibunya Nina.
“Jangan,
Den. Ini juga sudah cukup kok. Jadi ngerepotin Aden dan Neng dong,” ujar sang
ibu minder. Wajahnya tertunduk malu.
“Nggak
apa-apa, Bu. ambil saja. Kami nggak merasa direpotin. Malah kami merasa sangat
gembira kalau ibu menerimanya,” Fitri mendukung ucapan suaminya dengan tegas
dan jelas.
Setelah
mereka kelihatan kenyang, Dani dan Fitri mengajak keluarga Nina untuk pergi
jalan-jalan.”Sekarang, kita jalan-jalan yuk. Nggak apa-apa kan, Bu. nggak tiap
hari kok.”
“Kemana,
Teh. Jangan ah. Entar habis dong uang Teteh dan Aa.”
“Eh,
nggak dong, Sayang. Jangan takut. Untuk teteh dan Aa masih ada lho, Nin.”
Karena
terus dibujuk tanpa henti oleh Fitri dan Dani, akhirnya keluarga Nina mau juga.
Sebelum berangkat, Nina memeriksa jendela rumahnya lalu menguncinya. Setelah
semua terkunci iapun mengunci semua pintu rumahnya. Akhirnya mereka berangkat
berlima menuju mobil Avanza merah yang ada di bawah pohon jambu.
“Fit,
kita sekarang kemana dulu nih,” tanya Dani sambil menatap Fitri.
“Mmhh,,
ke grosir sembako dulu saja. Gimana A,
setuju?”
“Boleh,”
Dani menganggukkan kepalanya tanda setuju.
“Nina,
tahu nggak grosir sembako terdekat?” Fitri beralih ke Nina.
“
Ya. Di daerah Cicadas, Teh.”
Beberapa
menit kemudian mobil bergerak menuju Cicadas. Sesampainya di sana, mereka turun
menuju grosir sembako yang ada di sana.
“Fit,
kira-kira apa yang akan kita beli?”
“Coba
lihat ini,”Fitri menyerahkan secarik kertas. Di dalamnya tertulis secara rinci
sebagai berikut: beras 2 karung, minyak goreng yang 500ml 2 botol. Kecap 2
botol, telor 1kg, garam 2 bungkus dan terigu 2 karung. “Gimana, A, setuju?”
“Mmmhh,
boleh,” Dani mengambil secarik kertas dari tangan Fitri, lalu menyerahkannya
kepada pelayan toko.”Pak sekalian tolong masukan ke mobil saya, ya?”
“Baik,
Pak,” balas pelayan toko, singkat.
Setelah
semua barang berada di mobil, semua naik kembali. Mobil bergerak kembali menuju
arah timur. Di sepanjang perjalanan, Dani mengarahkan matanya dengan tajam,
seperti ada yang dicari. Ketika melihat apotik, iapun menghentikan mobilnya.
Iapun turun.
“Aa,
mau apa ke apotik,”Fitri bertanya penuh teka-teki dari dalam mobil.
“Mau
beli obat buat Ibunya Nina,” bisik Dani pelan ke telinga Fitri.
“Obat
apa, A?”
“Madu.”
“Memang
madu bisa dipakai untuk obat batuk?” Fitri tampak keheranan.
“Bisa.
Aku mendapat informasinya dari majalah-majalah kesehatan dan pengalaman dari
teman-temanku. Makanya harus sering baca informasi tentang kesehatan. Jangan
ketinggalan,” balas Dani, mantap. Kemudian ia melangkah menuju apotik.
“Bu,
suka madu, nggak?”sekarang Fitri membalikkan badannya ke arah Ibunya Nina.
“Suka,
Neng. Anak-anak juga pada suka.”
“Memang
dari dulu suka minum madu ya Bu?” susul Fitri.
“Iya,
Neng. Ketika ayah Nina masih ada. Ia suka membeli madu sebulan sekali untuk
keluarga di rumah,” jelas Ibunya Nina.
Tak
lama kemudian Dani turun dari apotik membawa sebotol madu. Setelah masuk iapun
mngendarai mobilnya kembali menuju rumah Nina. Tepat pukul 11.30, mereka telah
sampai di rumah. Barang-barang juga telah diangkut semuanya ke dalam rumah. Keluarga
Nina, walaupun merasa agak malu terhadap keluarga Dani, namun sesungguhnya
mereka merasa senang, terharu, tersentuh dan gembira dengan kebaikan Dani dan
Fitri yang tampak sangat baik dalam pandangan mereka.
“Bu,
terimalah ini semua dengan hati terbuka ya. Jangan tolak ya Bu. Saya hanya bisa
membantu ibu secara sederhana. Semoga semua ini berguna bagi keluarga ibu,”
ucap Dani merendah.
“Iya
Bu. hanya ini yang bisa saya berikan. Semoga ibu cepat sembuh ya,” susul Fitri.
Ibunya
Nina tampak tertunduk dan berurai air mata. Hatinya pasti tersentuh dengan
kebaikan keluarga Dani.”Makasih banyak ya, Nak. Ibu nggak bisa membalas
kebaikan Neng dan Aden. Semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik.”
“Amin.
Makasih ya Bu atas doanya,” sambut Fitri.
Tepat
pukul 12.05 Adzan Zuhur berkumandang. Dani bersiap-siap untuk shalat berjamaah
di masjid terdekat. Sementara itu Fitri, Nina, Icha dan Ibunya bersiap-siap
untuk shalat berjamaah di rumah mereka. Setelah selesai shalat, merekapun
berkumpul kembali di rumah Nina.
“Bu,
karena hari telah siang, maka saya dan istri saya mau pamit dulu. Terima kasih
atas sambutan baik keluarga di sini. Saya merasa senang berkunjung ke sini,”
ungkap Dani sambil tersenyum gembira. Uang yang telah ia keluarkan tak membuat hatinya terbebani. Namun malah membuat
hatinya puas, bahagia dan gembira karena telah dijadikan Allah sebagai jalan
untuk menolong orang yang sedang dilanda kesulitan. Ya, ini adalah nikmat yang
patut disyukuri. Mendapat taufik dari Allah untuk berbuat kebaikan adalah
nikmat yang tiada terkira bagi hati yang beriman.
“makasih
Aa, Teteh,” bisik Nina pelan sambil memeluk Fitri dengan air mata bercucuran.
“Iya,
Teh,” susul Icha ikut memeluk Fitri juga sambil menangis.
“Tak
apa-apa adik-adiku yang baik. Teteh merasa senang kok dengan kalian,” balas
Fitri dengan air mata berlinang. Ia seperti kepada adiknya sendiri.
Setelah
mengucapkan kalimat perpisahan, Dani dan Fitri melangkah keluar menuju mobil
mereka. Sementara itu Nina, adiknya dan ibunya mengantarkan mereka menuju mobil
mereka. Setelah Avanza merah bergerak menuju jalan raya, Nina sekeluarga
kembali ke rumahnya.
Sementara
itu Dani dan Fitri bergerak menuju arah barat. Sepertinya mereka menuju suatu
tempat.
“A,
gimana, jadi nggak, kita ke Lembang. Kita kan udah janji sama ayah dan ibu,”
Fitri memandang ke arah Dani.
“Iya,
jadi. Kenapa tidak,” ujar Dani memastikan.
“Kalau
begitu kita belanja dulu, ya, untuk oleh-oleh,” Fitri mengusulkannya pada Dani.
“Tentu,
dong. Dimana maunya?” Dani balik bertanya.
“Di
daerah Geger kalong aja ya?” pinta Fitri.
“Boleh,”
balas Dani tegas. Setelah memasuki daerah Geger kalong, Avanza merah berhenti
di sebuah toserba yang cukup besar.
Kemudian mereka keluar menuju pintu masuk.
“Aa
mau beli apa?” Fitri melirik suaminya.
“Terserah
saja. Aa mau cari buku, Sayang,” Balas Dani sambil menggandeng tangan istrinya.
Akhirnya
Dani mengikuti Fitri untuk membawakan barang-barang yang mau dibeli. Setelah
membeli semua yang dibutuhkan, lalu Dani melihat buku-buku yang tertata rapi di
etalase buku. Setelah selesai belanja di toserba tersebut, mereka menuju ke
mobil mereka. Baru beberapa langkah, terdengarlah adzan Ashar. Akhirnya mereka
melangkah menuju masjid yang ada di dekat toserba tersebut. Setelah selesai
shalat, mereka kembali menuju mobil mereka untuk melanjutkan perjalanan menuju
daerah Lembang.
Ketika
mereka telah sampai di dalam mobil, tiba-tiba langit tampak mendung kembali.
Awan hitam tampak bergumpal di angkasa. Suara petir terdengar menggelegar
memekakkan telinga. Tak lama kemudian, turunlah hujan dengan derasnya. Suasana
sore itu terasa agak mencekam.
“Aa,
aku takut. Teruskan atau jangan ke Lembangnya?” Fitri tampak agak ketakutan.
“Ya,
teruskan saja. Kenapa harus dibatalkan. Ayo kita berangkat, Sayang,” jawab Dani
mantap. Akhirnya Avanza merah bergerak perlahan meninggalkan toserba menuju
jalan raya.
Mobil
mereka bergerak perlahan meninggalkan daerah Geger kalong. Langit masih tampak
hitam kelam. Hujan terus mengguyur daerah tersebut. Ketika di tempat yang agak
sepi, tiba-tiba dari belakang mereka ada sebuah mobil bergerak cepat dan
menghadang Avanza merah mereka. Dani tak berkutik dan Fitri kelihatan sangat
panik.
“A,
perasaanku nggak enak,” Fitri ketakutan sambil memeluk suaminya.
“Tetap
tenanglah, Sayang. Berdoalah kepada Allah supaya kita ditolong-Nya,” ujar Dani
mantap. Akhirnya Fitripun berdoa dalam ketakutan.
Tiba-tiba
pintu mobil ada yang menggedor dengan sangat keras. Terlihat di luar seorang
lelaki bertopeng mengacungkan samurainya.”Hai! cepat keluar! atau kubunuh
kalian!” teriak lelaki bertopeng yang berdiri dipintu kanan mobil.
“Iya,
cepat keluar!” teriak seorang lelaki bertopeng lainnya yang berdiri di pintu
kiri mobil. Iapun menggedor pintu kiri mobil dengan sangat keras.
Akhirnya
Danipun keluar untuk menyelamatkan nyawa dirinya dan istrinya. Namun Dani
tampak tenang. Ia tampak benar-benar pasrah kepada Allah. Demikian juga dengan
Fitri. Kemudian mereka keluar, sementara samurai menempel di leher
masing-masing. Setelah Dani dan Fitri keluar, para perampok itu memukul Dani
dan membawa kabur mobil Avanza merah tersebut serta menjambret perhiasan yang
ada di tangan dan leher Fitri.
“Fitri,
mari kita berdoa kepada Allah. Tak ada yang mustahil bagi-Nya,” ajak dani
kepada Fitri,”Kita bertawassul saja dengan amal kita.”
“Iya
,Aa.,” balas Fitri gugup. Sementara itu, langit masih mendung dan hujan masih
deras mengguyur Fitri dan Dani.
“Ya
Allah, jika perbuatan kami tadi adalah karenamu, maka tolonglah kami ya Allah,”
bisik dani penuh kekhusyuan. Matanya tertutup dengan khusyuk.
Beberapa
menit kemudian, tiba-tiba datanglah sebuah mobil sedan milik polisi dan motor
patroli muncul.
“Eh,
Pak Dani, sedang apa di sini,” teriak seorang polisi.
“Pak
Budi?” Dani tampak kaget campur gembira. Kemudian Dani menceritakan kejadian
yang baru saja menimpanya. Tanpa banyak basa-basi Dani dan Fitri langsung di
suruh naik ke mobil patroli. Sementara itu motor besar milik Pak Budi telah
melesat memburu para perampok. Adapun sedan polisi mengikuti dari belakang.
Setelah
menempuh jarak 1 kilo meter Pak Budi melihat Avanza merahnya miliki Dani.
Adapun di depan Avanza merah itu terlihat mobil sedan hitam. Mobil itu kian
cepat bergerak ketika di belakang mereka terlihat ada motor dan mobil polisi.
Namun ada hal yang aneh. Tiba-tiba mobil itu berhenti. Mungkinkah bensinnya
habis? Namun sedan hitam itu terus kabur. Tanpa basa-basi, Pak Budi
mengacungkan pistolnya ke arah para perampok yang masih ada di dalam mobil
Avanza merah. Demikian juga dengan teman-teman Pak Budi yang ada di dalam sedan
segera keluar dengan senjata lengkapnya.
“Cepat
keluar!” teriak Pak Budi sambil menodongkan senjatanya ke arah perampok yang
menyetir mobil tersebut.
“Keluar!
Serahkan senjata kalian!” gertak teman-teman Pak Budi Dengan mengecengkan
senjata laras panjangnya kepada perampok yang ada di dalam mobil.
Para
perampok itu kelihatan gugup. Mereka tampak gentar dengan moncong senapan yang
setiap saat pelurunya bisa menembus kepala mereka. Mereka semua berjumlah tiga
orang. Mereka langsung diborgol. Samurai mereka segera diamankan. Pak Budi
memeriksa identitas mereka. Dari salah seorang perampok itu ditemukan STNK
mobil sedan yang sedang kabur. Pak Budi langsung mengambil handphone dan
menghubungi temannya yang lain agar melacak mobil sedan tersebut.
“Pak
Dani, ikut sebentar ke kantor kami ya, untuk dimintai keterangannya saja,”
pinta Pak Budi sambil menepuk-nepuk pundak Dani.
“Tentu,
Pak. Dengan senang hati,” balas Dani tersenyum. Kemudian ia melangkah bersama istrinya
menuju mobil mereka dengan badan basah kuyup. Namun sayang, mobil mereka mogok.
Ternyata bensinnya habis. Akhirnya mereka minta bantuan pak budi dan kawan-kawannya untuk mendapatkan bensin.
Pak
Budi yang baik hati bergerak mencari pom bensin terdekat bersama Dani. Setelah
beberapa menit Dani sampai juga di sebuah pombensin terdekat. Kemudian dengan
bantuan teman Pak Budi, mobil Dani ditarik dengan mobil polisi sampai ke pom
bensin
Setelah selesai mengisi mobilnya dengan bensin,
Dani menghidupkan mobilnya. Lalu mereka semua bergerak menuju kantor polisi.
Setelah memberikan keterangan kepada pihak kepolisian, Dani dan Fitri akhirnya
bergerak menuju rumah orang tua mereka. Akhirnya merekapun tiba di depan rumah
orang tua mereka.
“Fitri
Sayang, jangan membicarakan kejadian tadi kepada ayah dan ibu ya.”
“Iya,
A. Aku juga nggak mau mereka bersedih karena kejadian ini.”
ketika
berada di depan pintu Dani mengetuk pintu dan mengucapkan salam,”
Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,
Dani, Anakku. Wah kehujanan ya, kasihan. Kamu juga Fit.”
“Ya,
Ayah. Hujan sangat deras,” jawab Dani dengan melempar senyuman.
“Ibu
mana, Ayah,” tanya Fitri.
“Ada
di dalam. Masuk dulu saja. Ganti baju kalian segera.”
“Baik,
Yah,” balas Dani dan Fitri serentak.
Kemudian
Dani dan Fitri pergi ke kamar untuk mengganti baju yang basah. Setelah beres,
merekapun keluar menemui orang tua mereka.
“Bu,
kami bawa oleh-oleh untuk ibu, ayah, dan Santi,” Dani menghadap sang mertua
istri sambil mencium tangannya.
“Ibu,
sehatkan?” Fitri langsung memeluk Ibunda tercintanya.
“Sehat,
Sayang. Kok repot-repot segala.”
“Eh,
ada Teh Fitri, sama pacarnya ke sini, hehe,” Santi muncul dari kamarnya menuju
Fitri. Ia kelihatan gembira melihat kakaknya datang bersama suaminya itu.
“Eh,
Fit, San, kita ambil barang-barang yang ada di mobil yuk. Jangan merepotkan
ayah dan ibu,”Dani menarik tangan Fitri.
Fitri dan Santi melangkah mengikuti Dani.
Setelah
semua barang selesai di bawa ke rumah, lalu Dani dan Fitri masuk ke kamar Yang
telah disiapkan untuk istirahat mereka. Kemudian Dani dan Fitri duduk di atas
karpet biru yang ada di dalam kamar tersebut. Suasana terasa hening sejenak.
“Fitri, kamu lapar nggak, Sayang?”
“Eh,
Aaku Sayang pasti lapar ya. Tunggu sebentar,” Fitri mengerti perkataan suaminya.
Setelah mencium tangan suaminya iapun melangkah keluar kamar. Tak lama kemudian
ia membawa roti, margarine dan selai kesukaan suaminya. Sementara itu Santi
mengikuti dari belakang Fitri membawa segelas susu. Santi pergi lagi sambil
menutup pintu kamar.
“A,
disuapi ya?” Fitri memandang Dani sambil menawarkan jasa spesial buat suaminya.
“Jangan,
ah. Kaya yang baru nikah saja.” Dani tertawa kecil.
“Aa
Sayang jangan menolak dong. Mau ya?” Fitri terus membujuk tanpa mau menyerah.
“Boleh,”
Dani menyetujuinya karena tak mau mengecewakan istri tercintanya.
Setelah
mereka selesai makan, mereka kembali istirahat dan mulai berbincang-bincang
lagi.
”
A, aku teringat tentang hadits yang menceritakan tentang orang yang terjebak di
dalam goa,” Fitri mulai bercerita.
“Yang
goanya itu tertutup batu besar?” tanya Dani.
“Benar,
Sayang.” Jawab Fitri.
“Ya,
mereka memohon pertolongan Allah dengan cara bertawassul dengan amal baik yang
mereka lakukan,” susul Dani.
“Iya,
A. makanya, Berbuat baik karena Allah itu harus kita pertahankan agar kita
mendapat pertolongan Allah di waktu kita mendapat kesulitan.”
“Benar.
Aku setuju sekali. Hatiku yakin, pertolongan Allah telah datang kepada kita
tadi, dan hatiku sedikitpun tak ragu dengan pertolongan-Nya,” jelas Dani mantap.
“A,
aku bahagia punya suami sepertimu. Aa tuh cerdas, baik hati, lembut, perhatian
dan penyayang,” Fitri memuji Dani sambil tersenyum manis. Ia memandang suaminya
dengan pandangan yang penuh kepuasan.
“Segala
kebaikan hanya dari Allah. Aku tak punya apapun. Jangan memuji ah, malu. Nanti
aku jadi nggak ikhlas lho,” Dani menundukkan matanya dan ia tetap berusaha
merendah.
Tiba-tiba terdengarlah azan Magrib
berkumandang dengan indahnya memanggil hati yang rindu kepada kekasih sejati
yang Maha Penyayang. Memang, dengan shalat, hati manusia diharapkan menyadari
dan merasakan kelemahan dirinya di bumi ini dan menyadari kemahakuasaan Allah
sebagai Penguasa Alam semesta. Apalagi ketika ia dihadapkan pada masalah berat.
Ketika itu jelas sekali terasa batas yang ada dalam diri manusia. Akhirnya
tiada daya untuk memperoleh manfaat dan tiada kekuatan untuk menolak madarat
kecuali hanya dengan pertolongan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jangan lupa tinggalakn jejak :)