“Kak Agung?” ucap seorang gadis berjilbab biru
muda yang dari tadi melihat buku-buku bekas yang aku jual.
“Sherin?” balasku dengan ragu. Benarkah dia
adik kandungku? Sudah tiga tahun aku tak bertemu dengannya. Namun wajahnya
masih ingat.
“Ya, aku Sherin, adikmu. Kakak harus pulang.
Kasihan ibu, sering menyebut –nyebut nama Kakak.” Gadis itu mendekatiku lalu
memeluk erat. Air matanya mulai berjatuhan. Sepertinya ia tak peduli dengan
pandangan orang di sekeliling.
“Maafkan atas kesalahan kakak di masa lalu,
Rin. Sekarang kakak udah berhenti mabuk-mabukkan, tawuran dan hal buruk
lainnya,” jelasku dengan hati terharu. “Janji, tak akan mengulangi lagi.”
“Syukurlah, Kak. Ayah udah tiada. Kini aku
sama ibu di rumah. Kakak harus pulang sekarang juga,” pintanya penuh harap.
“Apa?” Aku merasa kaget dan sedih
mendengarnya. Menyesal sekali belum sempat minta maaf kepada ayah.
“Karena itu Kakak harus pulang. Jangan tunggu
ibu menyusul ayah,” sambungnya dengan suara bergetar.
“Ya. Kakak pasti pulang. Sudah kanget sama
ibu.” Aku melepaskan pelukan adikku.
“Segera kemasi barang Kakak,” pintanya dengan
lembut.
“Baiklah. Rin, kakak bisa berubah karena Mas
Yuda.” Aku menoleh ke arah Yuda, teman seperjuangan sebagai sesama penjual
buku.
“Oh, gitu ya. Makasih banyak Mas Yuda atas
bantuannya,” ucap Sherin sambil menoleh ke arah Yuda.
“Sama-sama, Mbak,” balas Yuda dengan ramah.
“Mas Yud, aku harap kamu ikut dulu ke rumah
ibuku,” pintaku dengan serius.
“Wah nggak enak Mas Agung. Malu saya.”
“Ibuku pasti sangat senang kalo kamu ikut.
Ikut ya Mas?” desakku pada lelaki muda bersahaja lagi baik hati tersebut. Jasa
Yuda tak bisa disebut satu-satu. Terlalu banyak kebaikan yang ia berikan.
Kesabaran dan ketangguhannya dalam mengarahkan ke jalan kebaikan membuat jiwa
tersentuh. Ia telah kuanggap seperti saudara kandung.
“Kalo begitu, baiklah, Mas.” Yuda tersenyum ke
arahku.
Akhirnya Yuda ikut juga. Semua barang dagangan
di bawa ke dalam mobil yang di bawa Sherin. Kami pun pergi menuju kea arah
barat.
The end.