TUHANKU SANDARANKU
Pagi itu Hanifah sedang menyiapkan
sarapan untuk suami tercintanya, Sandi, karena sebentar lagi ia akan berangkat
kerja. Sementara itu, anaknya, Susi, yang masih berumur 1 tahun, sedang bersama
ayahnya.
Menjelang pukul 7 pagi, tiba-tiba
langit berubah jadi gelap. Angin kencang muncul menambah angker suasana.
“Bang, hujan turun lebat sekali, mana
ada angin kencang lagi. Tunggu saja sampai hujannya reda dan anginnya lenyap,
ya?” Hanifah memberikan saran kepada suaminya dengan tatapan penuh sayang.
“Ia, Sayang. Abang akan tunggu sampai
berhenti. Tapi jika sampai jam 7.30 belum juga reda, maka abang harus pergi
juga, karena hari ini ada tugas penting sekali,” Sandi menatap keluar rumah,
mengamati suasana yang masih tampak mencekam. Sementara itu, Susi, masih betah
dalam pangkuannya.
Pukul 7.30, hujan masih tetap deras,
gemuruh angin masih menjadi-jadi.
“Han, tolong siapkan jas hujan, aku
mau berangkat ,” Sandi mengambil motornya dan siap-siap untuk pergi.
“Jangan, Bang! Jangan nekad!” Hanifah
kelihatan khawatir. Ia nampak cemas.
“Sudahlah, nggak usah khawatir seperti
itu, percayalah, semua akan baik-baik saja,” Sandi berusaha menenangkan
istrinya sambil menyerahkan Susi yang tiba-tiba menangis karena tak mau
berpisah dengannya.
“Assalamu’alaikum, Sayang, aku
berangkat dulu,” Sandi bersama Revo biru tuanya bergerak perlahan meninggalkan
pekarangan rumah.
“Wa’alaikumussalam,” tatapan Hanifah
yang penuh kekhawatiran mengantarkan suaminya sampai lenyap tak terlihat lagi.
Pukul 9 pagi, angin telah berlalu,
namun hujan masih deras mengguyur kota Surabaya. Sementara itu Hanifah sedang
mencuci pakaian. Adapun anaknya diasuh oleh saudaranya. Menjelang pukul 10
siang, hanifah mencoba mengontak hape Sandi, namun tak ada jawaban, padahal
hapenya aktif.
Pukul 11 siang, hape Hanifah
berdering. Ia lalu mengangkatnya dan menjawab salam sang penelepon.
“Han, bisa ke rumah sakit sekarang?”
tanya sang penelepon.
“Ada apa, Wan?” Hanifah balik bertanya
dengan perasaan tak menentu.
“Pokoknya datang dulu deh. Ditunggu
ya,” balas sang penelepon sambil menyebutkan tempat rumah sakitnya.
Dengan membawa Susi, Hanifah berangkat
menuju rumah sakit setelah menitipkan rumahnya kepada saudaranya. Hatinya makin
tak menentu. Ia khawatir, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan suaminya.
Ketika telah tiba di rumah sakit yang
dituju, Hanifah langsung menuju ruang gawat darurat sesuai permintaan Irwan,
temannya Sandi. Irwan menghampirinya dengan tenang walau wajah Irwan tampak
sedih,”Han, jangan panik ya, tenangkan dirimu.”
Hanifah melangkah perlahan menuju
sebuah tempat pembaringan yang di atasnya tergeletak sesosok tubuh yang masih
pingsan. Setelah mendekat, iapun menangis sambil tetap mendekap anaknya.
“Apa yang terjadi dengan suamiku,
Wan?” hanifah menatap Irwan dengan wajah basah oleh air mata.
“Tabrakan dengan Avanza,” suara Irwan terdengar
jelas namun berat, ia menunduk sambil menarik napas dalam-dalam. “ketika aku
melihat suamimu, aku langsung membawanya ke sini. Adapun motornya aku titipkan
kepada Budi.”
Mendengar itu tangisan Hanifah makin
kuat dan tubuhnya terasa makin lunglai. Ia sangat takut kehilangan suaminya,
karena Sandi adalah sosok suami yang sangat baik. Ia adalah sosok manusia yang
sangat perhatian, penyayang, cerdas, peduli dengan penderitaan orang lain.
Sandi itu orangnya penyabar, tenang, lembut, namun tegas dan pemberani.
Pukul 11.30 Sandi belum juga siuman.
Irwan menatapnya sambil berbisik,” Ya Allah, selamatkanlah kawanku,” Irwan
menatap wajah Sandi, ia tak kuat membendung air matanya yang sejak tadi ia
tahan.
Pikiran Irwan kembali menerawang ke
belakang, ia teringat kembali akan kebaikan Sandi kepadanya. Irwan mengingat
kembali akan peristiwa yang menyakitkan hatinya, ketika 3 hari menjelang
pernikahan, calon istrinya memutuskannya tanpa sebab yang masuk akal. Karena
itulah jiwanya jadi goncang. “Wan, wanita penghianat tak usah dipikirkan terus.
Udah sebulan kamu depresi. Lihat badanmu, tambah kurus, Wan. Udahlah kawan,
bangkitlah, masa depan tetap cerah.”
“Aku benar-benar terpukul, San. Lukaku
begitu parah,” ungkap Irwan seperti prustasi berat.
“Oke-oke, aku mengerti. Insya Allah nanti
aku carikan yang lebih baik,” Sandi menawarkan bantuan untuk menyemangati
sahabatnya yang dilanda badai yang sangat dasyat.
Kini Irwan telah punya istri yang baik
hati karena bantuan Sandi. Luka jiwanya telah sembuh. Kembali Irwan menatap
wajah Sandi. Tiba-tiba mata Sandi mulai terbuka perlahan. Irwan dan Hanifah
kelihatan punya energi harapan baru. Mereka berdua mendekati Sandi. Kepala
Sandi penuh balutan karena cedera. Juga kaki kanannya, karena retak tulang
pahanya.
“Syukurlah Abang sudah siuman,”
Hanifah mengelus wajah suaminya yang masih tampak lesu. Walaupun begitu, Sandi
tampak tersenyum kepada istri tercintanya juga kepada kawannya walaupun ia
masih tampak lemah.
“Tenanglah Sayang, Abang akan
baik-baik saja. Tak usah kau gelisah. Allah bersamaku,” wajah Sandi tetap
bersinar dengan senyuman yang menyiratkan semangat hidup. Ia tak mengeluh
selain sedikit meringis. Mungkin rasa sakitnya masih kuat. Ia tersenyum menatap
wajah anaknya yang polos.
“San, kamu memang tegar. Karena itu
aku tak mau kehilanganmu. Aku ingin sepertimu dalam menghadapi hidup ini. Kau
tak mengeluh kayak aku padahal keadaanmu sekarang benar-benar kritis,” Irwan
menunduk, ia masih menitikkan air mata. Mungkin ia malu dengan keadaan jiwanya.
Bagi Irwan, Sandi adalah manusia mengagumkan yang langka. Selama hidupnya,
jarang ia temukan orang mengagumkan seperti Sandi.
Tiba-tiba datanglah seorang lelaki
berdasi menghampiri mereka bertiga.
“Bagaimana keadaanmu, San?”tanya
lelaki itu.
“Alhamdulillah, aku baik-baik saja,
Pak Adi,” Sandi tetap tenang dan keep smiling.
“Bagus, kalau begitu, San,” lama juga
Pak Adi berada di tempat itu. Setelah itu, Pak Adi dan Irwan pamitan untuk
kembali melaksanakan tugas.
Kini tinggallah Hanifah, Sandi dan
Susi. Tiba-tiba perawat datang. Mungkin akan memeriksa kondisi Sandi. Setelah
itu sang perawat pergi lagi.
“Hanny Sayang, jangan menangis terus
dong,” Sandi menggerakkan tangan kanannya, lalu menghapus air mata istrinya
dengan sapu tangan merah milik istrinya.”Ayolah tersenyum, Sayang. Abang masih
hidup kok. Semua akan baik-baik saja. Allah akan menolong kita. Jangan larut
bersedih ya,” Sandi tersenyum kepada istrinya. Rupanya ia tak mau melihat istrinya
terus bersedih. Memang luar biasa jiwanya. Seharusnya orang sehatlah yang
berusaha menghibur orang sakit. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Orang
sakitlah yang berusaha menghibur orang sehat. Badan Sandi memang sakit, tapi
tidak dengan jiwanya.
“Ya Sayang, aku tak akan nangis
terus,” kini, giliran Hanifah yang tersenyum. Air matanya mulai reda.
“Hanny, tolong bacakan Al-Qur’an
untukku. Aku rindu mendengarnya,” pinta Sandi pada istrinya.
Hanifah membuka tasnya, lalu mengambil
Al-Qur’an. Terus iapun mulai membaca Al-Qur’an dengan baik. Ketika mendengar
ayat-ayat itu, Sandi tampak berlinang air mata. Lalu tertidurlah ia. Hanny
kaget. Ia panik lalu memanggil perawat.
“Bu, suami ibu hanya tertidur. Tenang
saja, Bu. Suami ibu akan membaik kok,” sang perawat tersenyum dan berusaha menenangkan
Hanifah.
Setelah lewat 1 jam, Sandi terbangun.”
Han, aku bermimpi.”
“Mimpi apa, Bang?” Hanifah bertanya
penuh rasa penasaran.
“Aku diruqyah orang berbaju putih.
Wajahnya penuh cahaya sangat terang. Ia mengaku sebagai Rosulullah,” Sandi
termenung. Namun ia kelihatan bahagia.[1]
“Berbahagialah Abang jika sudah ketemu
Nabi dalam mimpi,” Hanifah kaget campur gembira.
Setelah 1 minggu di rumah sakit, Sandi
sudah boleh pulang. Waktu yang sangat cepat bagi Sandi untuk proses
penyembuhan. Padahal ia kelihatan parah ketika di awal-awal. Mungkin ada
keajaiban? Why not? Tak ada yang mustahil bagi Allah.
“Bang, apa saja yang dibaca Nabi ketika
beliau meruqyahmu?” Hanifah tampaknya penasaran dengan mimpi suaminya.
“Bacaannya, aku sangat kenal. Ada di
dalam hadist.” Lalu Sandi menyebutkan bacaannya dengan fasih karena ia pandai
membaca Al-Qur’an.
“Kenapa Abang tak mengeluh dan mengatakan
bahwa semua akan baik-baik saja,” kembali Hanifah meneruskan pertanyaan.
“Mengeluh takkan membuat sakitku
sembuh, tak mampu menenangkan jiwa. Aku serahkan semuanya kepada Allah. Aku
baik sangka saja kepada-Nya. Jadi aku yakin, semua akan baik-baik saja. Ketika
hatiku yakin akan kasih sayang Allah, jiwaku diliputi rasa damai.
Alhamdulillah, hati terasa lapang dan tenang. Bukankah Penguasa Mutlak hati
manusia hanyalah Allah?” Sandi menatap
wajah Hanifah dengan penuh keyakinan akan kasih sayang Tuhannya.
“Iya, Bang. Benar. Aku masih harus
banyak belajar kepada Abangku tersayang,” Hanifah tersenyum dan memeluk
suaminya.
Pagi itu suasana terasa indah sekali.
Terdengar nyanyian alam mengalun merdu. Kicauan burung bersahutan di atas
ranting-ranting pohon. Angin bertiup sepoi-sepoi manja mengelus dedaunan.
Mentari tersenyum lebar di pagi itu. Sang Langit wajahnya cerah bersinar
memancarkan cahaya birunya yang teduh dan megah. Lihatlah wahai kawan, betapa
indah dan sempurna ciptaan YANG MAHA SEMPURNA.
Sekian dulu sahabat-sahabatku. Terima
kasih.
Oleh : Deni Abdullatif
http://sinarbuku77.blogspot.com
[1] ruqyah adalah metode pengobatan dengan
memakai ayat-ayat al-Qur’an atau kalimat
yang diajarkan Nabi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar