Ikatan
Hati
Pagi itu wajah langit tampak berseri-seri.
Wajahnya terlihat biru nan cerah. Sang mentari telah keluar dari peraduannya.
Ia tersenyum sambil menyinari bumi dengan sinarnya yang sejuk. Angin berhembus lembut mengelus-elus dedaunan.
Burung-burung berkicau dengan merdu di atas ranting-ranting pohon. Pagi itu
para mahasiswa yang kuliah di Jatinangor menuju kampus masing-masing untuk
mengikuti perkuliahan. Yunita, gadis hitam manis yang tak pernah lepas dengan
jilbab melangkah turun dari bis Damri. Ketika turun ia bertemu dengan teman
sekelasnya ─Rina.
“Assalamu’alaikum, gimana kabarnya Rin,
sehat?” sapa Yunita sambil tersenyum dan melangkah perlahan menuju Rina. Setelah
dekat ia menjabat tangan Rina dengan hangat.
“Wa’alaikumussalam, Alhamdulillah,Yun, aku
sehat,” Rina balik membalas. “Kamu gimana?”
“Alhamdulillah, aku juga sehat.”
“Yun,
aku mau mencari buku Wawasan Al-Qur’an karangan Prof. Quraish Shihab. Ke toko
buku itu yuk! Mudah-mudahan di sana ada,” Rina menarik tangan Yunita menuju toko buku yang ada di dekat pangkalan
bus Damri tersebut.
Mereka
berdua melangkah perlahan menuju toko buku tersebut. Ketika telah sampai di
depan etalase, Rina mengarahkan pandangan matanya ke buku-buku yang tertata
rapi di etalase tersebut. Tiba-tiba Yunita bertanya,”Rin, kita kuliah sekarang
mulai pukul delapan ‘kan?”
“Betul.
Ah, masih lama kok. Baru juga jam tujuh lebih lima belas menit,” jawab Rina
setelah melihat jam tangannya sebentar, kemudian kembali mencari buku yang ia
inginkan.
“Rin,
aku menemukannya! Lihat buku yang ada di sudut kanan yang berjilid biru itu!”
Yunita menunjuk buku tersebut dengan suara agak keras.
“Oh,
iya. Memang itu yang aku cari. Makasih ya,Yun,” Rina tersenyum gembira, lalu ia
meminta pelayan toko untuk mengambil buku tersebut. Setelah buku tersebut
dibungkus dengan rapi, Rina membayarnya.
Setelah beberapa detik kemudian Rina
dan Yunita melangkah menuju jalan besar
yang ada di sebelah utara yang tembus ke kampus Unpad. Sebentar lagi mereka
harus mengikuti kuliah seperti biasa. Rina melirik jam tangannya, ternyata
waktu menunjukkan pukul 7.45. 15 menit
lagi mereka harus sampai di kelas. “ Yun, gimana nih, nampaknya kita akan telat
kuliah. Duh! Maaf ya, aku tadi kelamaan di toko buku,” Rina merasa khawatir dan
menyesal.
“ Sudahlah Rin. Tak apa-apa. ‘kan sudah
terjadi, tak bisa diulangi lagi. Kita jalan saja terus. Segala resiko harus
siap kita hadapi,” balas Yunita mantap.
Akhirnya merekapun terus berjalan
mengikuti trotoar di jalan itu. Mereka adalah mahasiswi fakultas Sastra Arab di
Unpad. Tiba-tiba Rina melambai-lambaikan tangannya ketika ada mobil sedan merah
yang bergerak perlahan di belakangnya. “ Nis, boleh ikut nggak?! Kami takut
telat nih!” Seru Rina kepada seorang wanita berjilbab yang ada di dalam sedan tersebut. Akhirnya sedan tersebut
berhenti di sisi jalan. Ternyata wanita berjilbab itu adalah kawan mereka.
Sambil membuka jendela kaca mobilnya, gadis itu mengajak mereka untuk naik.”
Eh, Rin, Yun. Silahkan naik!” gadis itu tersenyum ramah kepada mereka berdua.
Tanpa basa-basi Rina dan Yunita naik dan duduk di kursi bagian belakang.
“ Rin, biasanya kamu dan Yunita
lebih awal datang ke kampus. Ada hambatan di jalan?”
“Mhh, tidak Annisa. Tadi aku
keasikan mencari buku di toko buku yang ada di dekat Pangdam itu,” Rina mengakui kelalaiannya. Mereka
terbiasa menyebut tempat mangkalnya bus-bus Damri itu dengan sebutan PANGDAM
saja, supaya terasa nggak ribet dan panjang.
“ Ya, tak apa-apa. Lain kali kalau
melakukan sesuatu harus diperhitungkan dengan matang walaupun itu seperti
tampak sepele. Maaf ya, Rin, bukannya aku mau mengguruimu,” Annisa mengkritik
temannya dengan bijak.
“ Tak apa-apa Nis, aku bersyukur
punya sahabat yang bersedia menegurku. Jazakillah[1] ya Nis.”
“ Ah, itu sudah menjadi kewajiban
antara kita untuk saling mengingatkan,” balas Annisa dengan menampakkan senyuman
yang ramah. Akhirnya mereka telah sampai di kampus. Annisa menempatkan sedannya
di tempat parkir. Mereka bertiga keluar menuju kelas untuk mengikuti
perkuliahan. Rina kembali melihat jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 7.57.
Masih ada waktu 3 menit sebelum dosen lebih dulu masuk kelas.
***
Tepat pukul 13.00 Yunita telah ada
di rumah. Setelah istirahat beberapa menit, ia langsung membantu ibunya membuat
kue untuk dijual pada pagi hari. Adapun adiknya, Yuni, juga ikut membantu
ibunya. Yuni baru keluar dari SMU. Ia
tak mau meneruskan sekolahnya ke perguruan tinggi. Katanya ia mau kursus saja.
Ayah mereka adalah seorang pegawai pabrik swasta yang ada di Bandung.
“Yun, hari ini adalah hari terakhir
ayahmu bekerja di pabrik,” ibunya mulai bicara.
“Lho, memangnya ada apa, Bu?” Yunita
merasa heran dan penasaran.
“Katanya pabriknya bangkrut sehingga
pihak pabrik melakukan pemutusan hubungan kerja.”jawab sang ibu dengan nada
lemah.
“Duh, bagaimana dong, Bu. mana BBM
telah naik. Harga-harga barang juga sekarang telah naik,” Yuni ikut bicara.
Padahal tadi ia hanya diam saja. Ia sepertinya khawatir.
“Ya, kita tak bisa apa-apa, Uni.
Walaupun banyak yang demo, harga BBM tetap saja naik. Sudahlah, jangan terlalu
dipikirkan. Mendingan kita cari jalan keluarnya. Sedih, kecewa, jengkel, dan
mengeluh tak bisa merubah keadaan,” jelas sang ibu tegas dan logis.
“Terus, untuk biaya kuliah Teteh,
dari mana, Bu?” Yuni meneruskan .
“Entahlah, belum terpikirkan, Uni,”wajahnya
menerawang penuh ketidakpastian.
“Ibu tak perlu terlalu memikirkan
biaya kuliah saya. Bu, Saya akan berusaha mencari jalan keluarnya semampu saya.
Bila memang kuliah saya tak bisa dipertahankan lagi, saya siap keluar,” Yunita menundukkan
wajahnya. Ia nampaknya terbebani juga dengan kenyataan tersebut. Namun ia masih
merasakan adanya harapan dalam hatinya. Ia tak putus asa.
“Saya siap bantu Ibu. Apapun akan
saya lakukan, Bu. asal halal deh,” susul Yuni penuh semangat.
Mendengar ucapan kedua anaknya, sang
ibu merasa gembira. Ia kelihatan bahagia dengan sikap kedua anaknya tersebut.
“Alhamdulillah, ibu merasa senang
punya anak sebaik kalian. Ibu ucapkan terima kasih sebelumnya atas niat baik
kalian. Anak-anakku, semoga Allah membalas kebaikan kalian,” sang ibu terharu.
Tanpa disadari tetesan bening mengalir dari kedua matanya.
“Bu, sesungguhnya kamilah yang harus
berterima kasih kepada Ibu. Karena kami sejak lahir telah merepotkan Ibu.
Karena kami, Ibu menjadi susah dan menderita. Sampai sekarang, kami juga masih
merepotkan Ibu. Maafkan anakmu ini ya, Bu,”Yunita menundukkan kepala. Rupanya iapun
menangis.
Adapun Yuni, ia hanya diam saja dengan
wajah menunduk. Akan tetapi iapun terpengaruh juga oleh keadaan ibu dan
kakaknya. Iapun menangislah.
Menjelang waktu Ashar, mereka
selesai mencetak kue, namun masih mentah. Adapun memasaknya dilakukan pada
pukul tiga dini hari sampai datangnya waktu subuh. Alasannya, karena kue yang
masih hangat lebih enak dimakannya.
Sejak ayah Yunita terkena PHK, ia
dan adiknya, Yuni, mulai bekerja membantu ibu mereka untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Yunita mulai mencari peluang untuk menjadi guru privat. Bahkan iapun
punya rencana untuk berjualan buku di pasar mingguan yang ada di dekat kampus
setiap hari minggu. Adapun adiknya mencoba menjual kue buatan ibunya di sekolah
dasar yang ada di dekat rumahnya.
***
Di suatu sore di hari minggu, Yunita
baru saja tiba di rumahnya. Tampaknya ia baru bepergian. Di ruang tengah, ia
bertemu adiknya.
“Teh, gimana jadi nggak jadi guru
privatnya,” tanya Yuni ketika melihat kakanya baru datang― entah dari mana.
“Insya Allah, jadi.”
“Terus, sudah dapat belum,
muridnya?” susul Yuni.
“Belum. Tapi teteh akan terus
berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya,” jawab Yunita dengan suara
semangat. Keringat membasahi wajah dan kerudungnya.
“Betul Teh. Kita jangan pernah
menyerah. Kita harus terus berusaha dengan penuh semangat. Iya ‘kan?” ujar Yuni
menyemangati kakaknya. Kemudian ia melangkah ke dapur. Tiba-tiba ia datang
membawa segelas jus jeruk untuk kakaknya. Lalu ia letakkan di meja.
“Makasih Uni. Wah enak ya diberi jus
jeruk. Pasti segar. Pas banget deh,” Yunita langsung mencicipinya setelah
mengucapkan basmalah lebih dulu, dan,”wah, enak nih. Makasih Sayang.”
“Enak ya Teh. Syukur deh. Abisnya
aku kasihan lihat Teteh kecapean. Aku nggak mau Teteh sakit. Itu spesial buat
tetehku,”ia menatap kakaknya.
Mendengar ucapan adiknya tersebut
Yunita tersenyum dan menatapnya dengan penuh rasa sayang.
Hari demi hari Yunita lewati dengan
kerja keras. Namun usahanya belum juga membuahkan hasil. Akan tetapi ia pantang
menyerah. Ia terus mendatangi teman-temannya dan memberi kabar kepada mereka
bahwa dirinya siap menjadi guru privat untuk pelajaran sekolah dan belajar
membaca serta menulis Al-Qur’an.”Namun aku hanya mau
mengajar anak perempuan saja,” begitu katanya dengan tegas.
***
Di suatu siang, Yuni pernah
dikagetkan dengan suatu kejadian yang menimpa kakaknya. Saat itu Yuni mau pergi
menuju rumah temannya untuk belajar komputer. Tiba-tiba ia menemukan kakaknya
tergeletak di sawah dalam keadaan pingsan. Tanpa banyak bicara, ia langsung
meminta bantuan tetangga yang rumahnya dekat dengan sawah. Setelah menemukan
dua anak lelaki, iapun meminta bantuan agar kakaknya di angkat dari sawah dan
di bawa ke rumah.
Ketika telah tiba di rumah, Yunita
dibersihkan badannya oleh ibunya dan Yuni. Setelah bersih, Yunita dibaringkan
di kamarnya. Sesudah beberapa saat, Yunita siuman.
“Ya Allah, dimana aku?” ucapnya
dengan lemah. Namun matanya masih tertutup.
“Uni, ambilkan teh manis di dapur.
Ibu sudah membuatnya tadi. Cepat ya,” Pinta ibunya.
“Baik, Bu,” bisik Yuni pelan. ia
kelihatan gugup. Apa yang ia khawatirkan ternyata terjadi juga.
Tak lama kemudian, Yuni datang
dengan membawa segelas teh manis. Perlahan-lahan mata Yunita terbuka. Wajahnya
masih tampak pucat. Lalu ibunya mengangkat kepalanya perlahan dan memintanya
meminum teh manis supaya kesadarannya pulih kembali. Setelah meminum seteguk
teh manis, Yunita menarik napas perlahan dan menatap wajah ibu dan adiknya.
“Uni, teteh lapar nih.” Bisiknya
lemah. Matanya kelihatan sayu. Ia tak berani meminta kepada ibunya. Mungkin
karena merasa tak sopan atau nggak enak saja. Yuni segera melangkah untuk
mengambil makanan yang masih tersisa. Ia menemukan sebungkus roti. Iapun
membawanya ke kamar kakaknya.
Setelah memakan beberapa potong roti
Yunita ditanya oleh ibunya tentang kejadian yang telah menimpanya.
“Yun, apa sebenarnya yang terjadi
padamu tadi.”
“Begini, Bu, tadi aku merasa pusing
ketika sedang berjalan di pematang sawah. Tubuhku terasa lemas sekali. Akhirnya
aku pingsan, tak ingat apa-apa lagi” Yunita menarik napas perlahan lalu
menghembuskannya perlahan.
“Kenapa Teteh sampai pingsan. ‘kan
biasanya Teteh kuat jalan kaki walaupun agak jauh,” Yuni menatap kakaknya
dengan penuh penasaran.
“Tadi pagi teteh hanya makan bubur
saja. Nggak makan apa-apa lagi.”
“Teteh sih terlalu sibuk memikirkan
kegiatan. Jadinya begini. Lupa makan. Tapi nggak apa-apa. Sudah terjadi. Semoga
jadi pelajaran berharga.”
Sambil memulihkan kondisi badannya,
Yunita untuk sementara istirahat dulu dari berbagai aktivitasnya. Apalagi
adiknya mengawasinya dengan penuh perhatian, karena ia tak mau melihat kakknya
pingsan lagi. Setelah kondisi badannya pulih kembali, Yunitapun kembali bekerja
seperti biasa untuk mencapai target-targetnya.
Setelah berusaha dengan
sungguh-sungguh, akhirnya Yunita mendapat permintaan untuk menjadi guru privat
bagi anak SMP. Empat orang siswi SMP telah siap menjadi muridnya. Ia hanya mau
menjadi guru privat bagi anak perempuan saja. Adapun anak laki-laki, ia tak
menyanggupinya.
***
Waktu menunjukkan pukul 17.30. Yuni
dan yunita sedang istirahat, karena mereka baru saja membantu ibu mereka
menyelesaikan pekerjaan harian.
“Teh, gimana ngajarnya? Tidak gugup
atau minder?” tanya Yuni sambil menatap wajah kakaknya.
“Alhamdulillah, nggak. ‘kan teteh
biasa mengajar ngaji anak-anak di madrasah setiap usai salat magrib. Jadi,
nggak merasa kaku atau gugup. Kalau Uni, gimana dengan dagangnya?”Yunita balik
bertanya. Ia mengarahkan pandangannya kepada adiknya.
“Aku merasa kaku, minder, dan gugup,
Teh. ‘Kan Teteh tahu sendiri, baru kali ini aku mencoba berjualan. Untungnya
ada Ibu Ipit yang baik hati. Ia selalu menyemangatiku terus. Ia ‘kan sudah lama
berjualan di sekolah. Jadi punya banyak pengalaman,” papar Yuni penuh semangat.
“Ya, pertama kali memang seperti
itu. Sabar ya Adikku Sayang. Tapi ‘kan nggak ada yang menggigit adikku yang
lucu ini ketika sedang berjualan kue di sekolah,” Yunita tersenyum. Ia mencoba menghibur adiknya dan mencubit tangannya.
“ Hehe, nggak ada la yaw. Masak sih
ada yang menggigit segala. Memangnya aku apaan,” Yuni tertawa ringan sehingga
tampaklah giginya yang putih.
“Syukurlah kalau nggak ada yang
menggigitmu. Eh, Uni, hari minggu kita jualan buku di pasar minguan, yuk?.”
“Emang Teteh punya duit untuk beli
bukunya?” Yuni balik bertanya.
“Nggak punya Neng. Kita Cuma menjual
buku saja. Bukunya dari Ibu Siti. Siap ‘kan bantu Teteh?”
“Insya Allah Teh. Aku mau membantu Tetehku
yang cantik. Siapa tahu di sana ada pedagang soleh dan baik hati yang naksir Tetehku
ini, hehe,” Yuni tersenyum sambil balik menggoda.
“Idih ngebalas nih. Teteh ucapkan
terima kasih sebelumnya ya,” Yunita tersenyum lalu mencium kening adiknya.
Tanpa terasa Azan Magrib telah
berkumandang. Yunita dan adiknya bersiap-siap untuk pergi ke masjid. Setelah
shalat Magrib, Yunita langsung mengajar ngaji anak-anak di madrasah. Kalau Yuni
ikut pengajian remaja. Yang mengajarnya adalah seorang ustazah.
***
Sekarang, setiap pagi Yuni pergi ke
sekolah dasar untuk menjual kue. Adapun Yunita jadi guru privat. Ia mengajar
setelah waktu Ashar, karena murid-muridnya belajar di sekolah pada pagi hari.
Ia mengajar setiap hari Senin Selasa Kamis dan Sabtu.
Setelah sebulan lamanya mengajar,
Yunita harus berhenti mengajari tiga orang siswi karena orang tua mereka memintanya berhenti.
Karena masalah keuangan mereka terpaksa menghentikannya. Sebenarnya mereka
merasa suka dengan cara mengajar yunita yang terkesan menarik. Kini, ia hanya
mengajar satu orang siswi saja. Walaupun begitu ia tetap mengajar dengan
semangat dan sepenuh hati. Ia berusaha menjalani kehidupannya dengan penuh
kesabaran.
***
Di suatu hari, Yunita mendengar
kabar bahwa ayahnya telah mendapat pekerjaan. Namun kabar tersebut membuatnya
khawatir dan gelisah karena ayahnya akan bekerja di sebuah klub malam di
Bandung. Ia takut keluarganya menggunakan penghasilan yang tidak diridhai
Allah.
“Bu, kata Uni ayah telah mendapat
pekerjaan di klub malam. Benar nggak, Bu.”
“Benar, Yun. Ibu telah menasihati
ayahmu agar tidak bekerja di sana. Tetapi ia malah marah kepada ibu. Ayahmu
tetap ngotot kerja di sana karena katanya penghasilannya cukup lumayan.”
“Bu, apapun alasannya saya tak mau
memakai penghasilan pemberian ayah untuk apapun juga,” ujar Yunita tegas. Ia
tampak bersedih.
“Ya, ibu juga nggak mau. Ibu akan
menolak uang dari ayahmu dengan cara baik-baik dan tegas. ”
“Semoga Allah memberikan kesabaran
kepada kita, Bu. Cukuplah bagi kita penghasilan halal saja,Bu,” Yunita memeluk
ibunya sambil menitikkan air matanya.
***
Kini ayah Yunita telah bekerja
selama dua minggu di klub malam tersebut. Selama itu pula telah terjadi perang
dingin antara ayah Yunita dengan ibunya, adiknya dan dirinya. Sejak saat itu
ayahnya lebih banyak berada di luar. Seolah-olah ia tak peduli lagi dengan anak
dan istrinya. Ia lebih sering nongkrong di kolam pemancingan bersama
teman-temannya. Kadang ia sampai subuh nongkrong di kolam pemancingan. Makan
dan minumpun lebih banyak di luar. Penghasilan yang ia dapatkan tak pernah
diterima oleh anak dan istrinya. Karena itulah ia merasa kesal kepada anak dan
istrinya, dan akhirnya ia bersikap acuh tak acuh kepada mereka. Ia datang ke
rumah sesukanya.
Pernah suatu ketika Yunita meminta
ayahnya agar berhenti bekerja di klub malam.” Ayah, bolehkah saya carikan
pekerjaan baru untuk ayah? Tapi Ayah harus berhenti bekerja di klub malam.”
“Tidak Bisa!” teriak ayahnya,” Kamu,
anak kecil, mau coba-coba mengaturku, Hah!” ia langsung keluar sambil
membanting pintu. Yunita tertunduk tak berdaya. Iapun terdiam tak mau bicara
lagi. Hatinya terpukul oleh kata-kata ayahnya.
Karena mereka tak mau menerima uang
hasil kerja ayah mereka, maka untuk mencukupi keperluan dapur, Yunita, ibunya dan
adiknya bekerja sama. Ibu dan adiknya menjual kue buatan mereka. Sementara
Yunita tetap menjadi guru privat. Ia masih mengajar seorang siswi saja. Memang
menyedihkan juga keadaan mereka. Namun, itulah ujian dari Allah yang harus
mereka hadapi dengan kesabaran dan kepasrahan.
Kadang-kadang Yunita harus berjalan
kaki ke kampus karena ongkos yang ia miliki hanya cukup untuk setengah
perjalanan saja. Ia harus turun di tengah perjalanan karena uang yang ia miliki
harus lari ke dapur. Di kampus, bila lapar, ia tak membeli makanan, tetapi ia
membawa makanan dari rumah. Walaupun tidak tiap hari, ia harus menjalani hal
tersebut selama dua bulan.
***
Menjelang bulan berikutnya, Yunita
dihadapkan pada suatu masalah baru berkaitan dengan kegiatan mengajarnya sebagai
guru privat.
“Teh Yun, bulan ini ibu belum bisa
membayar untuk less privatnya Yanti, karena ayahnya sedang sakit Thypus. Sudah
dua minggu ia belum bisa bekerja. Mungkin ibu hanya bisa membayar setengahnya
saja. Gimana Teh, nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa,Bu. sudahlah, Bu,
jangan jadi beban. Semoga Allah memberi kesabaran kepada kita semua atas ujian
ini,” Yunita pasrah dengan kenyataan
tersebut. Ia sadar bahwa bukan hanya keluarganya saja yang mendapat ujian dari
Allah. Pada dasarnya semua manusia mendapat bagian atas ujian hidup ini.
Setelah selesai mengajar, Yunita
pulang ke rumahnya. Ketika tiba di depan pintu rumahnya ia melihat adiknya
kelihatan agak gelisah.
“Uni, ada apa? Kok tampak gelisah
begitu?”
“Teh, ibu sakit. Setelah pulang
dagang, ibu muntah-muntah. Kita nggak punya uang yang cukup untuk berobat.
Harus bagaimana Teteh,” Yuni tampak gelisah, kebingungan dan salah tingkah.
“Kita bawa saja ke puskesmas
terdekat. Masalah biaya jangan dipikirkan.”
“Teteh sudah makan siang belum?”
“Belum.”
“Makan dulu, Teh, supaya nggak
ikut-ikutan sakit.”
Yunita makan dahulu sebelum membawa
ibunya ke puskesmas bersama adiknya.
“Eh, Teteh sudah shalat?”
“Sudah, Sayang. Ayo kita bawa ibu ke
puskesmas.”
“Iya, Teh,”bisik Yuni. Mereka berdua
membawa sang ibu ke PUSKESMAS untuk diperiksa. Mereka adalah kakak beradik yang
saling memperhatikan dan saling menyayangi satu sama lain. Mereka juga begitu
perhatian kepada ibu mereka.
Pukul dua siang mereka telah berada
di rumah.
“Teh, penyakitnya apa kata dokter,”
Yuni memandang kakaknya dengan mata sayu.
“Emmh, katanya penyakit lambung,
karena banyak pikiran dan makannya kurang.”
“Duuh, kasihan ibu kita, Teh,” Yuni
menundukkan kepalanya. Ia seperti merenung memikirkan nasib ibunya. Kesedihan
tampak jelas diwajahnya.
“Mulai sekarang, kita harus berusaha
memperhatikan dan mengurus ibu. Jangan sampai ibu lupa makan karena terlalu
sibuk bekerja atau terlalu banyak merenung. Bagaimana, Uni?”
“Baiklah Teh. Aku setuju,” tanpa
terasa air matanya mengalir perlahan menuruni pipinya.
***
Beberapa hari setelah ibunya sakit,
Yunita bertemu dengan ibunya Yanti, murid less privatnya.
“Teh, Yun. Maafkan ibu sebelumnya
ya. Itu, yanti mau berhenti dulu belajar privatnya karena sekarang ayahnya
terkena PHK.”
“Ya, tak apa-apa, Bu. saya mengerti
keadaan keluarga Ibu,” Yunita menerima keputusan tersebut dengan hati sabar.
Rupanya keimanannya terus duji oleh Yang Maha Sabar.
Tak hanya itu, ketika ia telah tiba di rumah,
ia melihat ada Ibu siti di rumahnya.
“Assalamu’alaikum,Bu Siti” sapa
Yunita. Kemudian ia duduk di kursi yang dekat Ibu Siti.
“Wa’alaikumussalam, Yun,” Bu Siti
tersenyum.
“Ada sesuatu yang mau dibicarakan, Bu?”
ia menatap Bu Siti.
“Iya, Yun. Besok ibu dengan keluarga
mau pindah ke Jakarta. Jadi mulai minggu depan ibu nggak bisa lagi menyuplai
buku-buku kepadamu. Mohon maaf ya, Yun.”
Yunita terdiam sejenak. Lalu iapun
bicaralah, “Tak apa-apa, Bu. jadi sekarang buku-buku itu mau ibu ambil?”
“Ya, Yun. Tapi jangan sekarang. Kamu
‘kan masih capek ya. Nanti saja kalau kamu sudah merasa segar kembali. Begitu
saja ya. Ibu mau pamit dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Yunita
menundukkan wajahnya. Ia berusaha untuk menenangkan hatinya. Ia harus rela
menerima takdir tersebut dengan penuh kesabaran. Namun ia tak boleh menyerah
untuk mencapai apa yang ia harapkan.
***
Saat itu Yunita sedang berada di kampus. Pukul 11.45 Rina dan Yunita keluar dari kelas. Kemudian mereka melangkah menuju
mesjid yang paling dekat. Sambil menunggu Azan Dzuhur mereka berdua duduk di pinggiran mesjid
sambil membaca buku.
“Yun, kenapa kamu dari tadi
kuperhatikan murung terus, sampai dosen menegurmu. Ada apa Yun?” Rina berbisik pelan, ia menatap wajah
temannya penuh penasaran.
“ Mhh tak ada apa-apa, Rin,” sahut
Yunita pelan. Ia menundukkan
pandangannya. Namun ia tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Sepertinya ada
yang bergejolak dalam jiwanya.
“ Pasti ada apa-apa. Aku
memperhatikanmu dari tadi,” desak Rina penuh rasa ingin tahu.
Tiba-tiba saja tetesan bening
menetes membasahi buku yang sedang dibaca Yunita. Melihat hal tersebut jiwa Rinapun
terpengaruh. Rina kembali bertanya,”
Yun, katakanlah! Apa masalah yang sedang menghimpit hatimu. Masalahmu adalah
masalahku juga. Kita sudah berteman selama tiga tahun. Aku merasa sedih bila
melihat sahabatku bersedih. Yun, kita ini adalah saudara seiman. Aku takut
dimurkai Allah gara-gara tak mau mempedulikan kesulitanmu. Yun, kalau kamu
menganggapku sebagai sahabatmu, ayolah terus terang,”Rina tertunduk. Air matanya
yang bening tak mampu ia tahan, dan mulai menetes satu demi satu membasahi buku
yang sedang ia baca.
“ Sebenarnya aku tak mau
membebanimu, Rin. Tapi akupun merasa tertekan juga dengan masalahku ini. Sampai
saat ini aku terus mencari jalan keluarnya. Namun, aku belum menemukannya.
Tapi, sungguh, Rin, aku tak berburuk sangka kepada Allah. Aku yakin, Allah akan
memberikan jalan keluarnya,” Yunita bicara terbata-bata karena tertahan
emosinya. Ia mengambil sapu tangan putih dari tasnya lalu mengusap air matanya.
Iapun menutupkan sapu tangannya itu ke wajahnya agar tangisnya tak terdengar
oleh orang lain.
Akhirnya kedua gadis itu sama-sama
menangis. Namun suara mereka tertahan oleh sapu tangan.Tiba-tiba dari arah kiri
datang tiga orang perempuan berjilbab
menghampiri mereka berdua. Salah seorang dari mereka bertanya dengan penuh
kehati-hatian,” Kenapa kalian berdua menangis? Kalau kami boleh tahu, apa
masalahnya? Mungkin kami bisa membantu.”
“ Lin, Yang punya masalah adalah
Yunita. Aku juga belum tahu masalahnya,” Rina menjawab dengan lemah.
“ Yun, kita adalah sama-sama hamba
Allah. Masalahmu adalah masalah kami juga. Kami tak rela jika dirimu
terbelenggu oleh masalah, sementara kami tenang-tenang saja,” muslimah
berjilbab biru muda menatap wajah Yunita dengan penuh tanda tanya.
Lima muslimah berkumpul di sisi
mesjid bagian kiri. Mereka memperhatikan satu sama lainnya. Tiba-tiba
terdengarlah Azan Dzuhur. Merekapun bergegas menuju tempat wudhu lalu masuk ke
mesjid. Sebelumnya mereka melaksanakan shalat sunnah qobla dzuhur. Ketika
iqomah telah dikumandangkan merekapun shalat berjamaah.
Setelah shalat berjamaah, mereka
berdzikir sejenak lalu shalat sunnah bakda Dzuhur. Setelah sholat sunnah mereka keluar bersama-sama dan duduk kembali
di lantai mesjid bagian luar yang berlantai keramik hijau. Mereka tak mau
mengganggu para muslimah lain yang sedang shalat dengan perbincangan mereka.
Karena itu mereka keluar.
“ Yun, ayolah katakan kepada kami,”
pinta muslimah berjilbab biru muda sambil menatap wajah Yunita. Ia tampak
menaruh kasihan kepada temannya itu.
“ Baiklah Yuli. Semoga Allah
membalas kebaikan kalian semua dengan yang lebih baik. Begini, setelah ayahku
di PHK beberapa bulan lalu, ia sekarang bekerja di klub malam. Aku takut perutku
dimasuki barang haram. Akhirnya aku, ibu dan adikku berkeputusan untuk tidak
menerima uang dari ayahku. Terus ayahku juga pernah menyuruhku untuk berhenti
kuliah dan bekerja di klub malam tersebut. Dan saat ini aku telah kehilangan
pekerjaanku. Aku sangat khawatir jika akhirnya aku, ibu dan adikku harus
memakai uang dari ayahku itu karena alasan krisis keuangan, hik…hik…hik,”
kembali Yunita menitikkan air matanya. Air matanya mengalir deras bagai air
hujan yang turun deras dari langit. Ia terus menangis, menangis dan menangis.
Lalu Yuli memeluknya dan menenangkannya. Mata Yulipun berkaca-kaca karena tak
tega mendengar nasib temannya tersebut. Yuli merasa bahwa penderitaan temannya
adalah penderitaannya juga. Begitulah bila hati telah merasa bersaudara.
“Yun, aku turut bersedih atas
musibah yang sedang menimpamu. Aku akan berusaha dengan teman-temanmu yang lain
untuk membantumu, Insya Allah. Kamu jangan merasa sendirian lagi,” ujar Yuli berusaha menenangkan Yunita sambil
mengelus kepalanya.
“Nida, gimana, kamu punya solusinya
nggak?” tanya Lina mengarahkan pandangannya kepada Nida, Gadis cantik yang
murah senyum lagi senang bergurau itu.
“ Aha! Aku punya solusi untukmu.
Nit!” seru Nida sambil membetulkan posisi kacamatanya.
“ Apa itu, Nid?” potong Rina sambil
memandang wajah Nida yang sedang tersenyum.
“ Begini teman-temanku yang baik dan
salehah. Aku ‘kan punya konter Hape. Gimana kalau Yunita jualan pulsa di kampus
ini ke teman-teman yang lain?”
“Alhamdulillah, ide bagus tuh, Nid. Tapi apa harganya bisa
bersaing dengan konter-konter yang ada di Jatinangor ini nggak?” tanya Yuli merasa ragu dan
khawatir.
“Insya Allah, bisa, Yul. Makanya
bisnis pulsa kakakku bisa bertahan di Jatonangor ini,” Nida berusaha meyakinkan
teman-temannya dengan mimik wajah serius.
“Alhamdulillah. Akhirnya solusinya
Allah berikan juga. Inilah pentingnya menyambung tali silaturahim. Bukan begitu
Ustadzah?” Rina melirik Lina.
“Eh, Kok panggil ustadzah sih. Jangan atuh, malu ah. Aku ‘kan
masih belajar. Sama seperti kalian,” ujar Lina tersipu malu.
“ Gimana Yun, siap nggak?” tanya
Nida penuh harap sambil menatap mata Yunita yang masih memerah.
“ Insya Allah, saya siap. Terima
kasih atas kebaikannya, Nid,” bisik Yunita dengan sedikit tersenyum. Sekarang wajahnya yang
hitam manis mulai cerah kembali.
“ Nah, gitu dong, Sayang, tersenyum.
Supaya tampak lebih cantik. Siapa tahu ada ikhwan yang saleh yang sedang
mencari calon istri. Sebentar lagi juga kita ‘kan beres kuliah, Insya Allah.
Iya nggak teman-teman?” goda Rina sambil tersenyum kepada teman-temannya. Lina,
Yuli, dan Nida tersenyum mendengar ucapan Rina.
“ Eh, Yun tahu nggak, yang mengelola
konter itu adalah kakakku. Ia belum menikah lho. Usianya 25 tahun. Ia pernah
mengatakan padaku bahwa ia ingin menikah. Ia juga pernah memintaku untuk
mencarikan calon istrinya itu. Kakakku itu seorang pengusaha yang sukses.
Penghasilannya rata-rata perbulan, 3 juta rupiah, dan itu aku lihat di buku
laporan keuangannya. Ia seorang sarjana ekonomi yang cerdas, rajin,
pantang nyerah dan kreatif. Kakakku baik
hati dan sangat perhatian lho Yun,” Nida menjelaskan panjang lebar tentang
kakaknya.promosi gitu lho.
“Tuh ‘kan Yun. Allah telah
memberikan solusinya untukmu. Jangan sedih lagi ya,” Rina tersenyum memandang
wajah Yunita yang sedang tersenyum.
Akhirnya jalan keluarpun telah
ditemukan karena kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya yang selalu berbaik
sangka kepada-Nya dan tak pernah putus
asa dari rahmat-Nya. Yunita, Lina, Rina, Yuli dan Nida melangkah meninggalkan
mesjid. Mereka berjalan bersama-sama menuju tempat parkir. Lina mendekati
kendaraan berwarna biru. Ia membuka pintunya, lalu masuk. Iapun mengajak
teman-temannya untuk naik. Setelah beberapa menit kendaraannya bergerak
perlahan meninggalkan kampus.
Ketika telah meninggalkan gerbang
kampus Unpad Lina meluncurkan mobilnya ke arah timur untuk mengantar Yuli ke
Tanjung sari. Setelah Yuli turun, Linapun kembali ke arah barat. Nida turun di
dekat kampus Ikopin, karena ia asli orang Jatinangor. Adapun Yunita turun di
Cileunyi dan Rina turun di Ujung berung. Lina terus meluncur ke barat karena ia
tinggal di Cicaheum.
***
Beberapa hari kemudian, Yunitapun telah
mulai berjualan pulsa kepada teman-temannya. Kakak Nidalah yang memberinya
modal usaha tersebut. Orang-orang dekatnya sering membeli pulsa kepadanya. Ia
menawarkan ke teman-temannya bahwa mereka boleh pesan pulsa lewas SMS.
Hasilnya, banyak teman-temannya yang beli pulsa kepada Yunita karena cara
tersebut paling mudah. Apalagi kalau siang hari, ketika mereka malas pergi ke
konter. Tak hanya siang hari, malam haripun ada yang memesan pulsa kepadanya.
Yang pesan malam biasanya bayarnya pagi. Strategi yang ia jalankan itu adalah
strategi yang diberikan Amir, kakaknya Nida.
Bulan pertama Yunita mendapat
penghasilan 350 ribu rupiah. Dengan penghasilan tersebut ia bisa membantu
ibunya untuk membeli beras, lauk-pauk dan minyak tanah. Sehingga
ketakutannyapun mulai sirna di hatinya. Ia bersyukur kepada Allah yang telah
menolongnya dari kesulitan tersebut. Hal ini menambah keimanannya kepada Allah.
Setelah usahanya maju Yunita terus meningkatkan amal ketaatan kepada Allah,
bukannya menjadi malas.
***
Siang itu Yunita baru pulang dari
kampusnya. Ia berjalan menuju konternya Amir
yang ada di Jatinangor bersama Nida dan Rina. Setelah sampai di konter,
Nida menyapa kakaknya,” Assalamu’alaikum, Kak.”
“ Wa’alaikumussalam. Mau isi pulsa
lagi ya, Nid?” tanya Amir.
“ Iya Kak. Ini saldo pulsa Yunita
sudah habis Kak. Bisa diisi sekarang nggak? soalnya katanya banyak permintaan.”
“ Insya Allah, bisa. Mau deposit
berapa, Yun?” tanya Amir kepada Yunita.
“ 1 juta saja Kak,” balas Yunita pelan
sementara pandangannya menunduk.
“ Tunggu sebentar ya, Yun. Oh, iya.
Kakak punya ide untukmu, Yun. Mau tidak berjulan pulsa di tempat tinggalmu?
Soalnya sekarang telah banyak orang memiliki hape. Para pedagang kecilpun
seperti tukang bakso tahu, sekarang telah punya hape.”
Yunita tak langsung menjawab, tapi
ia berpikir beberapa saat. Lalu iapun mulai bicara,” Insya Allah, Kak. Akan
saya coba. Cuma yang menjualnya mungkin bukan saya, tapi adik saya atau ibu
saya.”
“Ah, itu nggak masalah. Yang penting
strategi bisnis kita lebih unggul dari pesaing kita, terus manajemen bisnisnya
harus diterapkan sebaik-baiknya. Pernah baca buku kecerdasan emosi dan
spiritual? Coba bacalah. Di sana banyak strategi bisnis yang luar biasa,” ujar
Amir sambil menawarkan buku tersebut kepada Yunita.
“ Insya Allah Kak. Segala nasihat Kakak akan coba saya terapkan,”Yunita
mengambil buku yang ditawarkan Amir dan memasukkannya ke dalam tasnya.
Setelah selesai, Yunita dan Rina
pamitan dan mengucapkan salam untuk pulang. Sementara Nida Diam dulu di konter
kakaknya itu. Yunita dan Rina naik angkot bersama sambil melambaikan tangannya
kepada Nida.
***
Setelah beberapa bulan, usaha Yunita
mengalami perkembangan. Setelah itu penghasilan Yunita bertambah. Kini ibunya,
adiknya dan dirinya merasa bahagia dengan pertolongan-Nya tersebut.. Adapun
ayahnya Yunita berhenti bekerja di klub malam setelah dinasihati dan dibujuk
tanpa henti oleh ustadnya Yunita.
Setelah lulus kuliah, Yunita
dikhitbah oleh Amir. Amir telah tahu kesalehan Yunita dan Yunitapun telah tahu
banyak tentang kesalehan Amir dari adiknya, Nida. Tepatnya satu bulan setelah
dikhitbah, Yunitapun menikah dengan Amir, ikhwan baik hati lagi kreatif itu.
Semua teman-temannya diundang pada acara
yang membahagiakan itu. Itulah balasan bagi orang-orang yang yakin akan
pertolongan-Nya, tak putus asa dan tak buruk sangka kepada-Nya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar