Senin, 02 April 2012

Ikatan Hati


Ikatan Hati

Pagi  itu wajah langit tampak berseri-seri. Wajahnya terlihat biru nan cerah. Sang mentari telah keluar dari peraduannya. Ia tersenyum sambil menyinari bumi dengan sinarnya yang sejuk. Angin berhembus lembut mengelus-elus dedaunan. Burung-burung berkicau dengan merdu di atas ranting-ranting pohon. Pagi itu para mahasiswa yang kuliah di Jatinangor menuju kampus masing-masing untuk mengikuti perkuliahan. Yunita, gadis hitam manis yang tak pernah lepas dengan jilbab melangkah turun dari bis Damri. Ketika turun ia bertemu dengan teman sekelasnya ─Rina.
   “Assalamu’alaikum, gimana kabarnya Rin, sehat?” sapa Yunita sambil tersenyum dan melangkah perlahan menuju Rina. Setelah dekat ia menjabat tangan Rina dengan hangat.
   “Wa’alaikumussalam, Alhamdulillah,Yun, aku sehat,” Rina balik membalas. “Kamu gimana?”
   “Alhamdulillah, aku juga sehat.”
   “Yun, aku mau mencari buku Wawasan Al-Qur’an karangan Prof. Quraish Shihab. Ke toko buku itu yuk! Mudah-mudahan di sana ada,” Rina menarik tangan Yunita  menuju toko buku yang ada di dekat pangkalan bus Damri tersebut.
   Mereka berdua melangkah perlahan menuju toko buku tersebut. Ketika telah sampai di depan etalase, Rina mengarahkan pandangan matanya ke buku-buku yang tertata rapi di etalase tersebut. Tiba-tiba Yunita bertanya,”Rin, kita kuliah sekarang mulai pukul delapan ‘kan?”
   “Betul. Ah, masih lama kok. Baru juga jam tujuh lebih lima belas menit,” jawab Rina setelah melihat jam tangannya sebentar, kemudian kembali mencari buku yang ia inginkan.
   “Rin, aku menemukannya! Lihat buku yang ada di sudut kanan yang berjilid biru itu!” Yunita menunjuk buku tersebut dengan suara agak keras.
   “Oh, iya. Memang itu yang aku cari. Makasih ya,Yun,” Rina tersenyum gembira, lalu ia meminta pelayan toko untuk mengambil buku tersebut. Setelah buku tersebut dibungkus dengan rapi, Rina membayarnya.
Setelah beberapa detik kemudian Rina dan Yunita melangkah menuju  jalan besar yang ada di sebelah utara yang tembus ke kampus Unpad. Sebentar lagi mereka harus mengikuti kuliah seperti biasa. Rina melirik jam tangannya, ternyata waktu menunjukkan pukul  7.45. 15 menit lagi mereka harus sampai di kelas. “ Yun, gimana nih, nampaknya kita akan telat kuliah. Duh! Maaf ya, aku tadi kelamaan di toko buku,” Rina merasa khawatir dan menyesal.
“ Sudahlah Rin. Tak apa-apa. ‘kan sudah terjadi, tak bisa diulangi lagi. Kita jalan saja terus. Segala resiko harus siap kita hadapi,” balas Yunita mantap.
Akhirnya merekapun terus berjalan mengikuti trotoar di jalan itu. Mereka adalah mahasiswi fakultas Sastra Arab di Unpad. Tiba-tiba Rina melambai-lambaikan tangannya ketika ada mobil sedan merah yang bergerak perlahan di belakangnya. “ Nis, boleh ikut nggak?! Kami takut telat nih!” Seru Rina kepada seorang wanita berjilbab yang ada di dalam  sedan tersebut. Akhirnya sedan tersebut berhenti di sisi jalan. Ternyata wanita berjilbab itu adalah kawan mereka. Sambil membuka jendela kaca mobilnya, gadis itu mengajak mereka untuk naik.” Eh, Rin, Yun. Silahkan naik!” gadis itu tersenyum ramah kepada mereka berdua. Tanpa basa-basi Rina dan Yunita naik dan duduk di kursi bagian belakang.
“ Rin, biasanya kamu dan Yunita lebih awal datang ke kampus. Ada hambatan di jalan?”
“Mhh, tidak Annisa. Tadi aku keasikan mencari buku di toko buku yang ada di dekat Pangdam  itu,” Rina mengakui kelalaiannya. Mereka terbiasa menyebut tempat mangkalnya bus-bus Damri itu dengan sebutan PANGDAM saja, supaya terasa nggak ribet dan panjang.
“ Ya, tak apa-apa. Lain kali kalau melakukan sesuatu harus diperhitungkan dengan matang walaupun itu seperti tampak sepele. Maaf ya, Rin, bukannya aku mau mengguruimu,” Annisa mengkritik temannya dengan bijak.
“ Tak apa-apa Nis, aku bersyukur punya sahabat yang bersedia menegurku. Jazakillah[1] ya Nis.”
“ Ah, itu sudah menjadi kewajiban antara kita untuk saling mengingatkan,” balas Annisa dengan menampakkan senyuman yang ramah. Akhirnya mereka telah sampai di kampus. Annisa menempatkan sedannya di tempat parkir. Mereka bertiga keluar menuju kelas untuk mengikuti perkuliahan. Rina kembali melihat jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 7.57. Masih ada waktu 3 menit sebelum dosen lebih dulu masuk kelas.

***

Tepat pukul 13.00 Yunita telah ada di rumah. Setelah istirahat beberapa menit, ia langsung membantu ibunya membuat kue untuk dijual pada pagi hari. Adapun adiknya, Yuni, juga ikut membantu ibunya. Yuni baru  keluar dari SMU. Ia tak mau meneruskan sekolahnya ke perguruan tinggi. Katanya ia mau kursus saja. Ayah mereka adalah seorang pegawai pabrik swasta yang ada di Bandung.
“Yun, hari ini adalah hari terakhir ayahmu bekerja di pabrik,” ibunya mulai bicara.
“Lho, memangnya ada apa, Bu?” Yunita merasa heran dan penasaran.
“Katanya pabriknya bangkrut sehingga pihak pabrik melakukan pemutusan hubungan kerja.”jawab sang ibu dengan nada lemah.
“Duh, bagaimana dong, Bu. mana BBM telah naik. Harga-harga barang juga sekarang telah naik,” Yuni ikut bicara. Padahal tadi ia hanya diam saja. Ia sepertinya khawatir.
“Ya, kita tak bisa apa-apa, Uni. Walaupun banyak yang demo, harga BBM tetap saja naik. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Mendingan kita cari jalan keluarnya. Sedih, kecewa, jengkel, dan mengeluh tak bisa merubah keadaan,” jelas sang ibu tegas dan logis.
“Terus, untuk biaya kuliah Teteh, dari mana, Bu?” Yuni meneruskan .
“Entahlah, belum terpikirkan, Uni,”wajahnya menerawang penuh ketidakpastian.
“Ibu tak perlu terlalu memikirkan biaya kuliah saya. Bu, Saya akan berusaha mencari jalan keluarnya semampu saya. Bila memang kuliah saya tak bisa dipertahankan lagi, saya siap keluar,” Yunita menundukkan wajahnya. Ia nampaknya terbebani juga dengan kenyataan tersebut. Namun ia masih merasakan adanya harapan dalam hatinya. Ia tak putus asa.
“Saya siap bantu Ibu. Apapun akan saya lakukan, Bu. asal halal deh,” susul Yuni penuh semangat.
Mendengar ucapan kedua anaknya, sang ibu merasa gembira. Ia kelihatan bahagia dengan sikap kedua anaknya tersebut.
“Alhamdulillah, ibu merasa senang punya anak sebaik kalian. Ibu ucapkan terima kasih sebelumnya atas niat baik kalian. Anak-anakku, semoga Allah membalas kebaikan kalian,” sang ibu terharu. Tanpa disadari tetesan bening mengalir dari kedua matanya.
“Bu, sesungguhnya kamilah yang harus berterima kasih kepada Ibu. Karena kami sejak lahir telah merepotkan Ibu. Karena kami, Ibu menjadi susah dan menderita. Sampai sekarang, kami juga masih merepotkan Ibu. Maafkan anakmu ini ya, Bu,”Yunita menundukkan kepala. Rupanya iapun menangis.
Adapun Yuni, ia hanya diam saja dengan wajah menunduk. Akan tetapi iapun terpengaruh juga oleh keadaan ibu dan kakaknya. Iapun menangislah.
Menjelang waktu Ashar, mereka selesai mencetak kue, namun masih mentah. Adapun memasaknya dilakukan pada pukul tiga dini hari sampai datangnya waktu subuh. Alasannya, karena kue yang masih hangat lebih enak dimakannya.
Sejak ayah Yunita terkena PHK, ia dan adiknya, Yuni, mulai bekerja membantu ibu mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Yunita mulai mencari peluang untuk menjadi guru privat. Bahkan iapun punya rencana untuk berjualan buku di pasar mingguan yang ada di dekat kampus setiap hari minggu. Adapun adiknya mencoba menjual kue buatan ibunya di sekolah dasar yang ada di dekat rumahnya.


***

Di suatu sore di hari minggu, Yunita baru saja tiba di rumahnya. Tampaknya ia baru bepergian. Di ruang tengah, ia bertemu adiknya.
“Teh, gimana jadi nggak jadi guru privatnya,” tanya Yuni ketika melihat kakanya baru datang entah dari mana.
“Insya Allah, jadi.”
“Terus, sudah dapat belum, muridnya?” susul Yuni.
“Belum. Tapi teteh akan terus berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya,” jawab Yunita dengan suara semangat. Keringat membasahi wajah dan kerudungnya.
“Betul Teh. Kita jangan pernah menyerah. Kita harus terus berusaha dengan penuh semangat. Iya ‘kan?” ujar Yuni menyemangati kakaknya. Kemudian ia melangkah ke dapur. Tiba-tiba ia datang membawa segelas jus jeruk untuk kakaknya. Lalu ia letakkan di meja.
“Makasih Uni. Wah enak ya diberi jus jeruk. Pasti segar. Pas banget deh,” Yunita langsung mencicipinya setelah mengucapkan basmalah lebih dulu, dan,”wah, enak nih. Makasih Sayang.”
“Enak ya Teh. Syukur deh. Abisnya aku kasihan lihat Teteh kecapean. Aku nggak mau Teteh sakit. Itu spesial buat tetehku,”ia menatap kakaknya.
Mendengar ucapan adiknya tersebut Yunita tersenyum dan menatapnya dengan penuh rasa sayang.
Hari demi hari Yunita lewati dengan kerja keras. Namun usahanya belum juga membuahkan hasil. Akan tetapi ia pantang menyerah. Ia terus mendatangi teman-temannya dan memberi kabar kepada mereka bahwa dirinya siap menjadi guru privat untuk pelajaran sekolah dan belajar membaca serta menulis Al-Qur’an.”Namun aku  hanya  mau mengajar anak perempuan saja,” begitu katanya dengan tegas.

***

Di suatu siang, Yuni pernah dikagetkan dengan suatu kejadian yang menimpa kakaknya. Saat itu Yuni mau pergi menuju rumah temannya untuk belajar komputer. Tiba-tiba ia menemukan kakaknya tergeletak di sawah dalam keadaan pingsan. Tanpa banyak bicara, ia langsung meminta bantuan tetangga yang rumahnya dekat dengan sawah. Setelah menemukan dua anak lelaki, iapun meminta bantuan agar kakaknya di angkat dari sawah dan di bawa ke rumah.
Ketika telah tiba di rumah, Yunita dibersihkan badannya oleh ibunya dan Yuni. Setelah bersih, Yunita dibaringkan di kamarnya. Sesudah beberapa saat, Yunita siuman.
“Ya Allah, dimana aku?” ucapnya dengan lemah. Namun matanya masih tertutup.
“Uni, ambilkan teh manis di dapur. Ibu sudah membuatnya tadi. Cepat ya,” Pinta ibunya.
“Baik, Bu,” bisik Yuni pelan. ia kelihatan gugup. Apa yang ia khawatirkan ternyata terjadi juga.
Tak lama kemudian, Yuni datang dengan membawa segelas teh manis. Perlahan-lahan mata Yunita terbuka. Wajahnya masih tampak pucat. Lalu ibunya mengangkat kepalanya perlahan dan memintanya meminum teh manis supaya kesadarannya pulih kembali. Setelah meminum seteguk teh manis, Yunita menarik napas perlahan dan menatap wajah ibu dan adiknya.
“Uni, teteh lapar nih.” Bisiknya lemah. Matanya kelihatan sayu. Ia tak berani meminta kepada ibunya. Mungkin karena merasa tak sopan atau nggak enak saja. Yuni segera melangkah untuk mengambil makanan yang masih tersisa. Ia menemukan sebungkus roti. Iapun membawanya ke kamar kakaknya.
Setelah memakan beberapa potong roti Yunita ditanya oleh ibunya tentang kejadian yang telah menimpanya.
“Yun, apa sebenarnya yang terjadi padamu tadi.”
“Begini, Bu, tadi aku merasa pusing ketika sedang berjalan di pematang sawah. Tubuhku terasa lemas sekali. Akhirnya aku pingsan, tak ingat apa-apa lagi” Yunita menarik napas perlahan lalu menghembuskannya perlahan.
“Kenapa Teteh sampai pingsan. ‘kan biasanya Teteh kuat jalan kaki walaupun agak jauh,” Yuni menatap kakaknya dengan penuh penasaran.
“Tadi pagi teteh hanya makan bubur saja. Nggak makan apa-apa lagi.”
“Teteh sih terlalu sibuk memikirkan kegiatan. Jadinya begini. Lupa makan. Tapi nggak apa-apa. Sudah terjadi. Semoga jadi pelajaran berharga.”
Sambil memulihkan kondisi badannya, Yunita untuk sementara istirahat dulu dari berbagai aktivitasnya. Apalagi adiknya mengawasinya dengan penuh perhatian, karena ia tak mau melihat kakknya pingsan lagi. Setelah kondisi badannya pulih kembali, Yunitapun kembali bekerja seperti biasa untuk mencapai target-targetnya.
   Setelah berusaha dengan sungguh-sungguh, akhirnya Yunita mendapat permintaan untuk menjadi guru privat bagi anak SMP. Empat orang siswi SMP telah siap menjadi muridnya. Ia hanya mau menjadi guru privat bagi anak perempuan saja. Adapun anak laki-laki, ia tak menyanggupinya.


***
   
Waktu menunjukkan pukul 17.30. Yuni dan yunita sedang istirahat, karena mereka baru saja membantu ibu mereka menyelesaikan pekerjaan harian.
“Teh, gimana ngajarnya? Tidak gugup atau minder?” tanya Yuni sambil menatap wajah kakaknya.
“Alhamdulillah, nggak. ‘kan teteh biasa mengajar ngaji anak-anak di madrasah setiap usai salat magrib. Jadi, nggak merasa kaku atau gugup. Kalau Uni, gimana dengan dagangnya?”Yunita balik bertanya. Ia mengarahkan pandangannya kepada adiknya.
“Aku merasa kaku, minder, dan gugup, Teh. ‘Kan Teteh tahu sendiri, baru kali ini aku mencoba berjualan. Untungnya ada Ibu Ipit yang baik hati. Ia selalu menyemangatiku terus. Ia ‘kan sudah lama berjualan di sekolah. Jadi punya banyak pengalaman,” papar Yuni penuh semangat.
“Ya, pertama kali memang seperti itu. Sabar ya Adikku Sayang. Tapi ‘kan nggak ada yang menggigit adikku yang lucu ini ketika sedang berjualan kue di sekolah,” Yunita tersenyum. Ia  mencoba menghibur adiknya dan mencubit tangannya.
“ Hehe, nggak ada la yaw. Masak sih ada yang menggigit segala. Memangnya aku apaan,” Yuni tertawa ringan sehingga tampaklah giginya yang putih.
“Syukurlah kalau nggak ada yang menggigitmu. Eh, Uni, hari minggu kita jualan buku di pasar minguan, yuk?.”
“Emang Teteh punya duit untuk beli bukunya?” Yuni balik bertanya.
“Nggak punya Neng. Kita Cuma menjual buku saja. Bukunya dari Ibu Siti. Siap ‘kan bantu Teteh?”
“Insya Allah Teh. Aku mau membantu Tetehku yang cantik. Siapa tahu di sana ada pedagang soleh dan baik hati yang naksir Tetehku ini, hehe,” Yuni tersenyum sambil balik menggoda.
“Idih ngebalas nih. Teteh ucapkan terima kasih sebelumnya ya,” Yunita tersenyum lalu mencium kening adiknya.
Tanpa terasa Azan Magrib telah berkumandang. Yunita dan adiknya bersiap-siap untuk pergi ke masjid. Setelah shalat Magrib, Yunita langsung mengajar ngaji anak-anak di madrasah. Kalau Yuni ikut pengajian remaja. Yang mengajarnya adalah seorang ustazah.
***

Sekarang, setiap pagi Yuni pergi ke sekolah dasar untuk menjual kue. Adapun Yunita jadi guru privat. Ia mengajar setelah waktu Ashar, karena murid-muridnya belajar di sekolah pada pagi hari. Ia mengajar setiap hari Senin Selasa Kamis dan Sabtu. 
Setelah sebulan lamanya mengajar, Yunita harus berhenti mengajari tiga orang siswi  karena orang tua mereka memintanya berhenti. Karena masalah keuangan mereka terpaksa menghentikannya. Sebenarnya mereka merasa suka dengan cara mengajar yunita yang terkesan menarik. Kini, ia hanya mengajar satu orang siswi saja. Walaupun begitu ia tetap mengajar dengan semangat dan sepenuh hati. Ia berusaha menjalani kehidupannya dengan penuh kesabaran.

***

Di suatu hari, Yunita mendengar kabar bahwa ayahnya telah mendapat pekerjaan. Namun kabar tersebut membuatnya khawatir dan gelisah karena ayahnya akan bekerja di sebuah klub malam di Bandung. Ia takut keluarganya menggunakan penghasilan yang tidak diridhai Allah.
“Bu, kata Uni ayah telah mendapat pekerjaan di klub malam. Benar nggak, Bu.”
“Benar, Yun. Ibu telah menasihati ayahmu agar tidak bekerja di sana. Tetapi ia malah marah kepada ibu. Ayahmu tetap ngotot kerja di sana karena katanya penghasilannya cukup lumayan.”
“Bu, apapun alasannya saya tak mau memakai penghasilan pemberian ayah untuk apapun juga,” ujar Yunita tegas. Ia tampak bersedih.
“Ya, ibu juga nggak mau. Ibu akan menolak uang dari ayahmu dengan cara baik-baik dan tegas. ”
“Semoga Allah memberikan kesabaran kepada kita, Bu. Cukuplah bagi kita penghasilan halal saja,Bu,” Yunita memeluk ibunya sambil menitikkan air matanya.


***
Kini ayah Yunita telah bekerja selama dua minggu di klub malam tersebut. Selama itu pula telah terjadi perang dingin antara ayah Yunita dengan ibunya, adiknya dan dirinya. Sejak saat itu ayahnya lebih banyak berada di luar. Seolah-olah ia tak peduli lagi dengan anak dan istrinya. Ia lebih sering nongkrong di kolam pemancingan bersama teman-temannya. Kadang ia sampai subuh nongkrong di kolam pemancingan. Makan dan minumpun lebih banyak di luar. Penghasilan yang ia dapatkan tak pernah diterima oleh anak dan istrinya. Karena itulah ia merasa kesal kepada anak dan istrinya, dan akhirnya ia bersikap acuh tak acuh kepada mereka. Ia datang ke rumah sesukanya.
Pernah suatu ketika Yunita meminta ayahnya agar berhenti bekerja di klub malam.” Ayah, bolehkah saya carikan pekerjaan baru untuk ayah? Tapi Ayah harus berhenti bekerja di klub malam.”
“Tidak Bisa!” teriak ayahnya,” Kamu, anak kecil, mau coba-coba mengaturku, Hah!” ia langsung keluar sambil membanting pintu. Yunita tertunduk tak berdaya. Iapun terdiam tak mau bicara lagi. Hatinya terpukul oleh kata-kata ayahnya.
Karena mereka tak mau menerima uang hasil kerja ayah mereka, maka untuk mencukupi keperluan dapur, Yunita, ibunya dan adiknya bekerja sama. Ibu dan adiknya menjual kue buatan mereka. Sementara Yunita tetap menjadi guru privat. Ia masih mengajar seorang siswi saja. Memang menyedihkan juga keadaan mereka. Namun, itulah ujian dari Allah yang harus mereka hadapi dengan kesabaran dan kepasrahan.
Kadang-kadang Yunita harus berjalan kaki ke kampus karena ongkos yang ia miliki hanya cukup untuk setengah perjalanan saja. Ia harus turun di tengah perjalanan karena uang yang ia miliki harus lari ke dapur. Di kampus, bila lapar, ia tak membeli makanan, tetapi ia membawa makanan dari rumah. Walaupun tidak tiap hari, ia harus menjalani hal tersebut selama dua bulan.

***

Menjelang bulan berikutnya, Yunita dihadapkan pada suatu masalah baru berkaitan dengan kegiatan mengajarnya sebagai guru privat.
“Teh Yun, bulan ini ibu belum bisa membayar untuk less privatnya Yanti, karena ayahnya sedang sakit Thypus. Sudah dua minggu ia belum bisa bekerja. Mungkin ibu hanya bisa membayar setengahnya saja. Gimana Teh, nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa,Bu. sudahlah, Bu, jangan jadi beban. Semoga Allah memberi kesabaran kepada kita semua atas ujian ini,” Yunita  pasrah dengan kenyataan tersebut. Ia sadar bahwa bukan hanya keluarganya saja yang mendapat ujian dari Allah. Pada dasarnya semua manusia mendapat bagian atas ujian hidup ini.
Setelah selesai mengajar, Yunita pulang ke rumahnya. Ketika tiba di depan pintu rumahnya ia melihat adiknya kelihatan agak gelisah.
“Uni, ada apa? Kok tampak gelisah begitu?”
“Teh, ibu sakit. Setelah pulang dagang, ibu muntah-muntah. Kita nggak punya uang yang cukup untuk berobat. Harus bagaimana Teteh,” Yuni tampak gelisah, kebingungan dan salah tingkah.
“Kita bawa saja ke puskesmas terdekat. Masalah biaya jangan dipikirkan.”
“Teteh sudah makan siang belum?”
“Belum.”
“Makan dulu, Teh, supaya nggak ikut-ikutan sakit.”
Yunita makan dahulu sebelum membawa ibunya ke puskesmas bersama adiknya.
“Eh, Teteh sudah shalat?”
“Sudah, Sayang. Ayo kita bawa ibu ke puskesmas.”
“Iya, Teh,”bisik Yuni. Mereka berdua membawa sang ibu ke PUSKESMAS untuk diperiksa. Mereka adalah kakak beradik yang saling memperhatikan dan saling menyayangi satu sama lain. Mereka juga begitu perhatian kepada ibu mereka.
Pukul dua siang mereka telah berada di rumah.
“Teh, penyakitnya apa kata dokter,” Yuni memandang kakaknya dengan mata sayu.
“Emmh, katanya penyakit lambung, karena banyak pikiran dan makannya kurang.”
“Duuh, kasihan ibu kita, Teh,” Yuni menundukkan kepalanya. Ia seperti merenung memikirkan nasib ibunya. Kesedihan tampak jelas diwajahnya.
“Mulai sekarang, kita harus berusaha memperhatikan dan mengurus ibu. Jangan sampai ibu lupa makan karena terlalu sibuk bekerja atau terlalu banyak merenung. Bagaimana, Uni?”
“Baiklah Teh. Aku setuju,” tanpa terasa air matanya mengalir perlahan menuruni pipinya.

***
Beberapa hari setelah ibunya sakit, Yunita bertemu dengan ibunya Yanti, murid less privatnya.
“Teh, Yun. Maafkan ibu sebelumnya ya. Itu, yanti mau berhenti dulu belajar privatnya karena sekarang ayahnya terkena PHK.”
“Ya, tak apa-apa, Bu. saya mengerti keadaan keluarga Ibu,” Yunita menerima keputusan tersebut dengan hati sabar. Rupanya keimanannya terus duji oleh Yang Maha Sabar.
 Tak hanya itu, ketika ia telah tiba di rumah, ia melihat ada Ibu siti di rumahnya.
“Assalamu’alaikum,Bu Siti” sapa Yunita. Kemudian ia duduk di kursi yang dekat Ibu Siti.
“Wa’alaikumussalam, Yun,” Bu Siti tersenyum.
“Ada sesuatu yang mau dibicarakan, Bu?” ia menatap Bu Siti.
“Iya, Yun. Besok ibu dengan keluarga mau pindah ke Jakarta. Jadi mulai minggu depan ibu nggak bisa lagi menyuplai buku-buku kepadamu. Mohon maaf ya, Yun.”
Yunita terdiam sejenak. Lalu iapun bicaralah, “Tak apa-apa, Bu. jadi sekarang buku-buku itu mau ibu ambil?”
“Ya, Yun. Tapi jangan sekarang. Kamu ‘kan masih capek ya. Nanti saja kalau kamu sudah merasa segar kembali. Begitu saja ya. Ibu mau pamit dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Yunita menundukkan wajahnya. Ia berusaha untuk menenangkan hatinya. Ia harus rela menerima takdir tersebut dengan penuh kesabaran. Namun ia tak boleh menyerah untuk mencapai apa yang ia harapkan.

***
        
   Saat itu Yunita sedang berada di kampus. Pukul 11.45  Rina dan Yunita keluar dari kelas. Kemudian mereka melangkah menuju mesjid yang paling dekat. Sambil menunggu Azan Dzuhur  mereka berdua duduk di pinggiran mesjid sambil membaca buku.
“Yun, kenapa kamu dari tadi kuperhatikan murung terus, sampai dosen menegurmu. Ada apa Yun?”  Rina berbisik pelan, ia menatap wajah temannya penuh penasaran.
“ Mhh tak ada apa-apa, Rin,” sahut Yunita pelan. Ia  menundukkan pandangannya. Namun ia tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Sepertinya ada yang bergejolak dalam jiwanya.
“ Pasti ada apa-apa. Aku memperhatikanmu dari tadi,” desak Rina penuh rasa ingin tahu.
Tiba-tiba saja tetesan bening menetes membasahi buku yang sedang dibaca Yunita. Melihat hal tersebut jiwa Rinapun terpengaruh. Rina kembali  bertanya,” Yun, katakanlah! Apa masalah yang sedang menghimpit hatimu. Masalahmu adalah masalahku juga. Kita sudah berteman selama tiga tahun. Aku merasa sedih bila melihat sahabatku bersedih. Yun, kita ini adalah saudara seiman. Aku takut dimurkai Allah gara-gara tak mau mempedulikan kesulitanmu. Yun, kalau kamu menganggapku sebagai sahabatmu, ayolah terus terang,”Rina tertunduk. Air matanya yang bening tak mampu ia tahan, dan mulai menetes satu demi satu membasahi buku yang sedang ia baca.
“ Sebenarnya aku tak mau membebanimu, Rin. Tapi akupun merasa tertekan juga dengan masalahku ini. Sampai saat ini aku terus mencari jalan keluarnya. Namun, aku belum menemukannya. Tapi, sungguh, Rin, aku tak berburuk sangka kepada Allah. Aku yakin, Allah akan memberikan jalan keluarnya,” Yunita bicara terbata-bata karena tertahan emosinya. Ia mengambil sapu tangan putih dari tasnya lalu mengusap air matanya. Iapun menutupkan sapu tangannya itu ke wajahnya agar tangisnya tak terdengar oleh orang lain.
Akhirnya kedua gadis itu sama-sama menangis. Namun suara mereka tertahan oleh sapu tangan.Tiba-tiba dari arah kiri datang tiga orang  perempuan berjilbab menghampiri mereka berdua. Salah seorang dari mereka bertanya dengan penuh kehati-hatian,” Kenapa kalian berdua menangis? Kalau kami boleh tahu, apa masalahnya? Mungkin kami bisa membantu.”
“ Lin, Yang punya masalah adalah Yunita. Aku juga belum tahu masalahnya,” Rina menjawab dengan lemah.
“ Yun, kita adalah sama-sama hamba Allah. Masalahmu adalah masalah kami juga. Kami tak rela jika dirimu terbelenggu oleh masalah, sementara kami tenang-tenang saja,” muslimah berjilbab biru muda menatap wajah Yunita dengan penuh tanda tanya.
Lima muslimah berkumpul di sisi mesjid bagian kiri. Mereka memperhatikan satu sama lainnya. Tiba-tiba terdengarlah Azan Dzuhur. Merekapun bergegas menuju tempat wudhu lalu masuk ke mesjid. Sebelumnya mereka melaksanakan shalat sunnah qobla dzuhur. Ketika iqomah telah dikumandangkan merekapun shalat berjamaah.
Setelah shalat berjamaah, mereka berdzikir sejenak lalu shalat sunnah bakda Dzuhur. Setelah sholat sunnah  mereka keluar bersama-sama dan duduk kembali di lantai mesjid bagian luar yang berlantai keramik hijau. Mereka tak mau mengganggu para muslimah lain yang sedang shalat dengan perbincangan mereka. Karena itu mereka keluar.
“ Yun, ayolah katakan kepada kami,” pinta muslimah berjilbab biru muda sambil menatap wajah Yunita. Ia tampak menaruh kasihan kepada temannya itu.
“ Baiklah Yuli. Semoga Allah membalas kebaikan kalian semua dengan yang lebih baik. Begini, setelah ayahku di PHK beberapa bulan lalu, ia sekarang bekerja di klub malam. Aku takut perutku dimasuki barang haram. Akhirnya aku, ibu dan adikku berkeputusan untuk tidak menerima uang dari ayahku. Terus ayahku juga pernah menyuruhku untuk berhenti kuliah dan bekerja di klub malam tersebut. Dan saat ini aku telah kehilangan pekerjaanku. Aku sangat khawatir jika akhirnya aku, ibu dan adikku harus memakai uang dari ayahku itu karena alasan krisis keuangan, hik…hik…hik,” kembali Yunita menitikkan air matanya. Air matanya mengalir deras bagai air hujan yang turun deras dari langit. Ia terus menangis, menangis dan menangis. Lalu Yuli memeluknya dan menenangkannya. Mata Yulipun berkaca-kaca karena tak tega mendengar nasib temannya tersebut. Yuli merasa bahwa penderitaan temannya adalah penderitaannya juga. Begitulah bila hati telah merasa bersaudara.
“Yun, aku turut bersedih atas musibah yang sedang menimpamu. Aku akan berusaha dengan teman-temanmu yang lain untuk membantumu, Insya Allah. Kamu jangan merasa sendirian lagi,”  ujar Yuli berusaha menenangkan Yunita sambil mengelus kepalanya. 
“Nida, gimana, kamu punya solusinya nggak?” tanya Lina mengarahkan pandangannya kepada Nida, Gadis cantik yang murah senyum lagi senang bergurau itu.
“ Aha! Aku punya solusi untukmu. Nit!” seru Nida sambil membetulkan posisi kacamatanya.
“ Apa itu, Nid?” potong Rina sambil memandang wajah Nida yang sedang tersenyum.
“ Begini teman-temanku yang baik dan salehah. Aku ‘kan punya konter Hape. Gimana kalau Yunita jualan pulsa di kampus ini ke teman-teman yang lain?”
“Alhamdulillah,  ide bagus tuh, Nid. Tapi apa harganya bisa bersaing dengan konter-konter yang ada di Jatinangor  ini nggak?” tanya Yuli merasa ragu dan khawatir.
“Insya Allah, bisa, Yul. Makanya bisnis pulsa kakakku bisa bertahan di Jatonangor ini,” Nida berusaha meyakinkan teman-temannya dengan mimik wajah serius.
“Alhamdulillah. Akhirnya solusinya Allah berikan juga. Inilah pentingnya menyambung tali silaturahim. Bukan begitu Ustadzah?”  Rina melirik Lina.
“Eh, Kok panggil  ustadzah sih. Jangan atuh, malu ah. Aku ‘kan masih belajar. Sama seperti kalian,” ujar Lina tersipu malu. 
“ Gimana Yun, siap nggak?” tanya Nida penuh harap sambil menatap mata Yunita yang masih memerah.
“ Insya Allah, saya siap. Terima kasih atas kebaikannya, Nid,” bisik Yunita dengan  sedikit tersenyum. Sekarang wajahnya yang hitam manis mulai cerah kembali.
“ Nah, gitu dong, Sayang, tersenyum. Supaya tampak lebih cantik. Siapa tahu ada ikhwan yang saleh yang sedang mencari calon istri. Sebentar lagi juga kita ‘kan beres kuliah, Insya Allah. Iya nggak teman-teman?” goda Rina sambil tersenyum kepada teman-temannya. Lina, Yuli, dan Nida tersenyum mendengar ucapan Rina.
“ Eh, Yun tahu nggak, yang mengelola konter itu adalah kakakku. Ia belum menikah lho. Usianya 25 tahun. Ia pernah mengatakan padaku bahwa ia ingin menikah. Ia juga pernah memintaku untuk mencarikan calon istrinya itu. Kakakku itu seorang pengusaha yang sukses. Penghasilannya rata-rata perbulan, 3 juta rupiah, dan itu aku lihat di buku laporan keuangannya. Ia seorang sarjana ekonomi yang cerdas, rajin, pantang  nyerah dan kreatif. Kakakku baik hati dan sangat perhatian lho Yun,” Nida menjelaskan panjang lebar tentang kakaknya.promosi gitu lho.
“Tuh ‘kan Yun. Allah telah memberikan solusinya untukmu. Jangan sedih lagi ya,” Rina tersenyum memandang wajah Yunita yang sedang tersenyum.
Akhirnya jalan keluarpun telah ditemukan karena kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya yang selalu berbaik sangka kepada-Nya  dan tak pernah putus asa dari rahmat-Nya. Yunita, Lina, Rina, Yuli dan Nida melangkah meninggalkan mesjid. Mereka berjalan bersama-sama menuju tempat parkir. Lina mendekati kendaraan berwarna biru. Ia membuka pintunya, lalu masuk. Iapun mengajak teman-temannya untuk naik. Setelah beberapa menit kendaraannya bergerak perlahan meninggalkan kampus.
Ketika telah meninggalkan gerbang kampus Unpad Lina meluncurkan mobilnya ke arah timur untuk mengantar Yuli ke Tanjung sari. Setelah Yuli turun, Linapun kembali ke arah barat. Nida turun di dekat kampus Ikopin, karena ia asli orang Jatinangor. Adapun Yunita turun di Cileunyi dan Rina turun di Ujung berung. Lina terus meluncur ke barat karena ia tinggal di Cicaheum.
***
Beberapa hari kemudian, Yunitapun telah mulai berjualan pulsa kepada teman-temannya. Kakak Nidalah yang memberinya modal usaha tersebut. Orang-orang dekatnya sering membeli pulsa kepadanya. Ia menawarkan ke teman-temannya bahwa mereka boleh pesan pulsa lewas SMS. Hasilnya, banyak teman-temannya yang beli pulsa kepada Yunita karena cara tersebut paling mudah. Apalagi kalau siang hari, ketika mereka malas pergi ke konter. Tak hanya siang hari, malam haripun ada yang memesan pulsa kepadanya. Yang pesan malam biasanya bayarnya pagi. Strategi yang ia jalankan itu adalah strategi yang diberikan Amir, kakaknya Nida.
Bulan pertama Yunita mendapat penghasilan 350 ribu rupiah. Dengan penghasilan tersebut ia bisa membantu ibunya untuk membeli beras, lauk-pauk dan minyak tanah. Sehingga ketakutannyapun mulai sirna di hatinya. Ia bersyukur kepada Allah yang telah menolongnya dari kesulitan tersebut. Hal ini menambah keimanannya kepada Allah. Setelah usahanya maju Yunita terus meningkatkan amal ketaatan kepada Allah, bukannya menjadi malas.

***

Siang itu Yunita baru pulang dari kampusnya. Ia berjalan menuju konternya Amir  yang ada di Jatinangor bersama Nida dan Rina. Setelah sampai di konter, Nida menyapa kakaknya,” Assalamu’alaikum, Kak.”
“ Wa’alaikumussalam. Mau isi pulsa lagi ya, Nid?” tanya Amir.
“ Iya Kak. Ini saldo pulsa Yunita sudah habis Kak. Bisa diisi sekarang nggak? soalnya katanya banyak permintaan.”
“ Insya Allah, bisa. Mau deposit berapa, Yun?” tanya Amir kepada Yunita.
“ 1 juta saja Kak,” balas Yunita pelan sementara pandangannya menunduk.
“ Tunggu sebentar ya, Yun. Oh, iya. Kakak punya ide untukmu, Yun. Mau tidak berjulan pulsa di tempat tinggalmu? Soalnya sekarang telah banyak orang memiliki hape. Para pedagang kecilpun seperti tukang bakso tahu, sekarang telah punya hape.”
Yunita tak langsung menjawab, tapi ia berpikir beberapa saat. Lalu iapun mulai bicara,” Insya Allah, Kak. Akan saya coba. Cuma yang menjualnya mungkin bukan saya, tapi adik saya atau ibu saya.”
“Ah, itu nggak masalah. Yang penting strategi bisnis kita lebih unggul dari pesaing kita, terus manajemen bisnisnya harus diterapkan sebaik-baiknya. Pernah baca buku kecerdasan emosi dan spiritual? Coba bacalah. Di sana banyak strategi bisnis yang luar biasa,” ujar Amir sambil menawarkan buku tersebut kepada Yunita.
  “ Insya Allah Kak. Segala nasihat Kakak akan coba saya terapkan,”Yunita mengambil buku yang ditawarkan Amir dan memasukkannya ke dalam tasnya.
Setelah selesai, Yunita dan Rina pamitan dan mengucapkan salam untuk pulang. Sementara Nida Diam dulu di konter kakaknya itu. Yunita dan Rina naik angkot bersama sambil melambaikan tangannya kepada Nida.

***

Setelah beberapa bulan, usaha Yunita mengalami perkembangan. Setelah itu penghasilan Yunita bertambah. Kini ibunya, adiknya dan dirinya merasa bahagia dengan pertolongan-Nya tersebut.. Adapun ayahnya Yunita berhenti bekerja di klub malam setelah dinasihati dan dibujuk tanpa henti oleh ustadnya Yunita.
Setelah lulus kuliah, Yunita dikhitbah oleh Amir. Amir telah tahu kesalehan Yunita dan Yunitapun telah tahu banyak tentang kesalehan Amir dari adiknya, Nida. Tepatnya satu bulan setelah dikhitbah, Yunitapun menikah dengan Amir, ikhwan baik hati lagi kreatif itu. Semua teman-temannya  diundang pada acara yang membahagiakan itu. Itulah balasan bagi orang-orang yang yakin akan pertolongan-Nya, tak putus asa dan tak buruk sangka kepada-Nya.
***








[1] Semoga Allah membalas(kebaikan)mu

Tidak ada komentar: