Menjemput
Soulmate
Pukul 11.30 malam,
Herman baru tiba di depan pintu rumahnya. Setelah mengucapkan salam dan
mengetuk pintu, pintupun terbuka dari dalam.
“Wah, Abang kecapean
kayaknya. Dari mana dulu Bang?” tanya adiknya, Lia.
” Tadi ada masalah di rumah yatim. Seorang anak perempuan yang
masih duduk di bangku SMU, nekad mau kabur. Untung kepergok oleh Mbak Mia, salah satu pengurus
yang kerja hari itu . Alhamdulillah, sekarang udah beres,” Herman membuka jaket
kulitnya sambil melangkah masuk rumah. Kemudian langsung merebahkan tubuhnya
yang terasa lesu di atas kursi.
“Mau minum apa, Bang?
Jus jeruk apa jus anggur?” Lia menatap wajah kakaknya yang kusut agak mengantuk.
“Jus beruk? Bajigur?
Bajigur aja deh. Masak Abang kudu minum jus beruk, apa kata Mas Sodiq nanti,”
“Weleh-weleh, udan
nggak koneknih ngomongnya,” Lia ketawa
geleng-geleng kepala.
“Emangnya tadi ngomong
apa, Lia?” Herman membuka matanya yang sudah terasa ngantuk. Kemudian Lia mengulangi kembali
ucapannya.”Iya nih. Udah ngantuk. Jadinya nggak konsen,”jawab Herman sambil
menguap. Ups, mulutnya ditutup kalau sedang menguap. Sangat wajar bila ia
kecapean, karena hari itu ia kerja dari subuh sampe malam. Kerja ekstra yang
melelahkan.
Hari itu, hari libur. Setelah salat subuh,
Herman langsung mengumpulkan cucian, kemudian merendamnya dengan deterjen.
Setelah itu iapun mencucinya. Setelah mencuci diteruskan dengan memasak. Wuih,
capek banget bo. Maklum, belum ada istri. Adapun Lia, udah berangkat kerja
sejak pukul 6 pagi. Cucian sering numpuk karena dicucinya juga hanya pas libur
saja. Maklumlah, Herman khan orang sibuk. Tapi adiknya juga kadang suka
membantu bila sedang tak sibuk. Tapi, kalau dirinya lagi sakit, Herman
kerepotan juga karena nggak ada yang melayaninya. Kalau Lia pas lagi nggak
kerja, tentu dibantuin. Tapi kalau lagi nggak ada, ya harus melakukan sendiri
aja.
“Bang, apa nggak
kepikiran punya bini, biar Abang ada yang membantu gitu lho, ngurus kerjaan
terus nggak ada ujungnya, Bang,” tanya Lia santai. Sore itu hujan turun
rintik-rintik.
“Pernah juga sih
terlintas di otakku. Cuma karena sibuk kerja, jadi abang lupa lagi. Lia mau
nggak bantuin abang?” Herman menjelaskan kendalanya dan mencoba minta solusi
kepada adiknya.
“Insya Allah, Bang,
akan saya bantu,” jawab Lia semangat.
***
Senin, pukul 6 pagi, hape Herman berdering, lalu ia mengambil
hapenya,”Assalamu’alaikum, halo Def, ada apa bro?”
“Begini Mas Her, Rabu
datang ke rumahku, oke? ada acara syukuran untuk kelahiran anak pertamaku,”
papar temannya tersebut.
“Oke Def. Insya Allah saya
ke sana. Rabu pas dikit kerjaannya, jadi saya nggak full kerja.” Setelah
selesai, ia menyimpan kembali hapenya ke tempatnya.
***
Rabu, tepat pukul 10
siang, Herman udah ada di rumah temannya, dalam rangka memenuhi undangan
temannya itu.
“Makasih, Mas Her, udah
mau datang ke acara istimewaku,” sapa teman Herman.
“Sama-sama, Def. makasih
kembali udah ngundang saya.”
“Maaf, Mas, udah punya
rencana untuk nikah belum?”
“Udah, Def, Cuma saya
belum punya calonnya nih,” jelas Herman.
“Mau gadis atau janda,
Mas Her? Kayak Dewi Persik atau Mulan Jamilah?” tanya Defi lebih lanjut sambil
bercanda.
“Gadis atau janda, ga
masalah. yang penting dia baik. Wahh, kayak Mulan Jameelah boleh, tapi harus
yang ngerti Islam dong, Def. hehe, juga
usianya ga jauh sama saya.”
“Oke Mas Her. Minggu,
aku mau kenalin Mas Her sama seorang gadis. Ia adik temanku. Gimana Mas?”
“Oke, Def. makasih banget
atas bantuaannya. Minggu, kita mulai bergerak.”
Setelah acara selesai,
Herman kembali pulang ke rumahnya dengan hati gembira karena ada yang mau
membantu mencarikan calon pasangan hidup.
***
Hari Minggu yang
ditunggu-tunggu Herman akhirnya datang juga. Pukul 7 pagi Herman berangkat ke
rumah Defi dengan motor besarnya. Ketika udah tiba di rumah Defi, Herman
melihat Defi telah menunggu di pintu rumahnya.
“Silahkan masuk, Mas
her,” Defi mempersilahkan Herman masuk ke ruang tamu. Di ruang tamu telah
tersedia segelas susu murni yang dicampur madu. Juga sepiring roti keju terenak
se Jateng. Tak ketinggalan juga buah anggur, apel merah, jeruk, jagung dan
sirsak. Wew, kumplit bho.
“Mas, kita mau pake
motor atau mobilku saja?”
“Naik angkot aja Def,”
jawab Herman dengan mantap. Defi tampak kebingungan. Sebenarnya ada apa dengan
temannya itu? Mata Defi melihat temannya lebih fokus. Ia kaget juga karena
pakaian yang dipakai Herman adalah pakaian yang sangat sederhana, kemeja biru
dan celana yang telah pudar warnanya. Belel gitu lho. Sebenarnya kurang pantas
bila dipakai Herman. Pantasnya dipakai oleh seorang petani. Herman itu kan
seorang manajer. Begitu pikir Defi.
“Mas, kenapa pakai
sandal jepit karet segala?” protes Defi.
“Nggak masalah, Def.
calon bini yang saya cari adalah yang
hatinya hidup. Bukan yang mati hatinya. saya cuma mau nguji mental cewek aja,” Herman
menjawab dengan mantap.
“Weleh-weleh, dalam
banget bahasanya, kayak seorang filosof aja, Mas Her,” Defi tersenyum mendengar
jawaban Herman. Sekarang ia mengerti dengan strategi mencari jodoh yang
dijalankan temannya itu.
Akhirnya Herman dan
Defi berangkat menuju rumah teman yang dimaksud. Teman Defi itu memang orang
kaya. Wuih, rumahnya mewah banget bro. tapi Herman tampak pede aja, tak minder
1 cm pun. Mantap saja berjalan dengan pakaian ala pedesaan dan sandal jepit
karetnya itu.
Setelah berada di ruang
tamu, Herman dan Defi diterima oleh temannya defi karena mereka udah janjian.
Sajian makanan super enak udah siap di meja tamu.
“Gimana, Wand, adikmu,
Gina, ada?” defi mulai membuka percakapan.
“Ada Def. lagi dandan
kayaknya. Maklumlah, anak cewek suka lama. Silahkan dicoba makanannya def, Mas
Herman, silahkan,” Iwand membujuk tamu istimewanya dengan sangat ramah. Udah
ganteng, kaya, sangat ramah lagi bro. kayaknya banyak cewek yang jatuh hati
sama Iwand.
“Makasih, Wand,” Herman
tersenyum pada Iwand dengan ramah.
Beberapa menit
kemudian, muncullah Gina dengan ibunya. Mereka mulai memandang Herman dengan
tatapan yang angkuh.
“Def, ini pembantumu
ya, yang mau dijodohkan dengan anakku udah datang belum?” ibunya Gina memandang
Defi dengan pandangan kecewa.
“Ia Mas Def, mana calon
Arjunaku itu?” wajah Gina terlihat sinis.
“Maaf, Bu, saya bukan
pembantunya Defi, tapi temannya Defi,” Herman menjawab dengan mantap. Ia
berusaha menahan diri agar tak terpancing emosi. Ia tenang saja.
“Def, kamu kesini naik
apa, kok mobil barumu tak kelihatan,” kembali Ibunya Iwand menginterogasi Defi.
Defi kelihatan kurang nyaman, tapi ia berusaha menenangkan diri karena melihat
Herman tetap tenang saja. Baginya, Herman itu seperti kakak kandungnya yang
dihormati dan patut dicontoh dalam kesederhanaan dan perilakunya.
“Kami berdua kesini
naik angkot, Bu,” jawab Herman mantap. Sang ibu nampak makin sinis penuh
keangkuhan. Sementara itu Gina melangkah keluar rumah. Tanpa sengaja ia melihat
sandal jepitnya Herman.
“Eh, Mas def, ini
sandal jepitnya siapa ya? hi hi hi,” Gina melirik Herman dengan pandangan meledek.
“To the point aja Bu,
gak usah pake ngeledek segala. Ini kan bukan paksaan,” Defi agak emosi juga
melihat temannya yang dihormati itu diledek habis-habisan oleh ibu dan adik
temannya.
“Def, tahan dirimu,” bisik
Herman berusaha menenangkan Defi.
“Oke, Def, aku dan
mamaku mau pergi belanja, daaah,” Gina menarik tangan ibunya, lalu mereka
melangkah menuju Xenia merah yang masih mengkilap. Sepeninggal Gina dan ibunya,
Herman udah bisa menebak, manusia macam apa Gina dan ibunya itu.
“Mas Def, dan Mas Her,
aku minta maaf atas ketidakramahan ibu dan adikku, aku nggak bisa ngomong
apa-apa,” Iwand tertunduk malu di depan Defi dan Herman.
“Udahlah, kamu ga salah
Wand. Kita tetap sahabatan,” jawab Defi tenang.
“Iya Wand, kamu ga
salah, bahkan aku senang berteman denganmu. Kapan-kapan main ke rumah saya ama Defi ya Wand?” pinta Herman.
“Makasih banget Mas Her.
Saya juga senang punya teman baru setenang Mas Her.”
“Oke, Wand, kami cabut
dulu deh. Ada acara lagi. Titip pesan
buat adik dan mamamu, buka postingan karya temanku di internet, karya sahabat
pena yang berjudul DERAJAT KEMULIAAN MANUSIA, SURUH ibu dan adikmu baca.
Mudah-mudahan mereka sadar. Masuk aja ke alamat http://my.opera.com/sahabatpena/,
gitu aja dulu Wand. Makasih banyak atas jamuannya,” Defi dan Herman berjabatan
dengan Iwand, lalu mereka berdua pergi meninggalkan rumah Iwand.
Di angkot, Herman bicara sama Defi.”Def, maafin saya
udah bikin kamu jengkel.”
“Ga apa-apa Mas Her,
Mas ga salah kok. Aku nyadar, derajat kemuliaan manusia bukan diukur oleh
materi, pakaian, atau hiasan dunia lainnya.”
“Syukurlah Def kalau
kamu ngerti masalah ini. saya harap kamu
jangan kebawa arus materialisme.”
“Makasih Mas atas
nasihatnya. Tetap semangat, Mas. Maju terus pantang mundur.”
***
Sabtu, pukul 11 malam,
Herman baru pulang dari tempat kerjanya. Avanza birunya bergerak di tengah
guyuran hujan. Sesekali petir menyambar-nyambar membuat hati ciut. Ketika
melewati jalanan sunyi, Herman melihat seorang wanita yang sedang menangis di
pinggir jalan. Sementara itu di sampingnya tergeletak sesosok tubuh yang tak
mampu bergerak lagi. Hermanpun secepat kilat menghentikan mobilnya.
“Dik, kenapa nangis,
apa yang terjadi?” Herman menatap sesosok tubuh yang ada di sisi sang gadis.
“Oh, mas Her, baru
pulang, Mas. Ini ibuku sakit asma. Udah susah bernafas dari tadi. Akhirnya pingsan,”
jelas Susi. Susi adalah teman pengajiannya Herman waktu masih SMA. Setelah
Herman udah kerja, ia jarang ketemu Susi. Susi itu orangnya baik. Baik sama
orang tuanya, temannya dan tetangganya. Namun, sekarang Susi tinggal sama
ibunya yang udah tua lagi sering sakit-sakitan. Sekarang, Susi tinggal sendiri
di rumah mungilnya. Kerjanya adalah jual
goreng-gorengan keliling perumahan. Ia
pekerja keras.
“Wuih, ternyata kamu
Susi. Ayo kita bawa ibumu ke ruma sakit,” Herman turun dari mobilnya, langsung
membawa ibu Susi ke mobilnya. Akhirnya, Susi dan Herman membawa si ibu ke rumah
sakit. Setelah tiba di ruma sakit, ia di bawa ke ruang UGD.
“Mas Her, aku gak punya
biaya untuk pengobatannya,” Susi tertunduk sambil menangis .
“Sus, ga usah bingung.
Biar abang yang nanggung. Ga usah banyak pikiran. Ntar Susi sakit. Tenang aja
Sus,” Herman berusaha menenangkan Susi.
Tepat pukul lima
pagi, ibu Susi telah dipanggil Allah.
Dokter udah pada nyerah. Menyadari kenyataan itu, Susi menangis tersedu-sedu.
Air matanya bercucuran bagai air hujan yang tumpah dari langit. Kini ia hanya
seorang diri. Tak ada ayah, ibu, dan tak ada sanak family. Ujung jilbab birunya
basah kuyup oleh air mata.
“Susi, tabahkan hatimu,
Dik. Bagaimanapun juga kita hanya miliki Allah dan kita pasti kembali
kepada-Nya,” Herman menundukkan wajahnya. Ia coba sadarkan dan tenangkan Susi.
Akhirnya Susi mencoba untuk pasrah kepada Sang Pencipta.
Tepat pukul 7 pagi,
jenazah ibunya Susi dibawa ke tempat tinggal Susi. Adapun segala pembiayaan di rumah sakit
ditanggung Herman.
Pukul 8 pagi. Ibu Susi
telah selesai dimakamkan. Susi kembali menangis. Hati Herman terasa tersayat
karena kasihan dengan apa yang menimpa Susi.
Usai acara pemakaman,
Susi ditemani Lia, adiknya Herman, juga ditemani, Mia, Rutha, Wilin, Rima,dan Dechi.
Adapun Mas Sodiq gak boleh ikut, kan cowok bro he he he.
Setelah Susi tenang, Lia dan kawan-kawannya mulai kembali
ke rumah masing-masing. Mereka kembali seperti biasa. Sejak saat itu, Lia
sering main ke rumah Susi dan sebaliknya. Lia senang berteman sama Susi karena
ia orangnya baik dan enak diajak ngobrol. Susi orangnya agamis banget, tapi tak
menggurui gitu.
***
Di suatu sore, Herman
lagi santai di ruang tengah.
“Bang, menurutku, Susi
itu orangnya baik, penyabar, pekerja keras, taat dan rajin ibadah,” Lia duduk
di samping kakaknya.
“Abang juga udah
mikir-mikir buat ngelamar Susi. Dan udah istikhoroh. Hati abang udah sreg kayakknya,”
balas Herman.
“Ya udah, Bang. Lamar
aja sana. Lagian Susi tinggal sendirian, kasian khan Bang. Nolong orang khan
ibadah, Bang,” Lia mencoba membujuk kakaknya dengan halus.
“Insya Allah, abang mau
ngelamar Susi esok hari aja. Setuju ga, Lia?”
“Setuju banget Bang.
Jadinya aku khan ada teman di sini. Aku ceneng banget berteman sama Susi.
Apalagi kalau jadi kakakku, lebih ceneng lagi. Wit wiww,” Lia kelihatan gembira
kegirangan.
Pagi itu, langit tampak
biru cerah secerah hati Herman dan Lia. Angin berhembus sepoi-sepoi manja.
Burung-burung berkicau riang. Pagi itu, Herman dan Lia berangkat menuju rumah
Susi yang letaknya hanya 1km saja dari rumah mereka. Mereka naik mobil Avanza
biru. Setelah tiba, mereka berdua turun
dan melangkah menuju rumah Susi. Mereka mengetuk pintu sambil mengucapkan
salam. Tak lama kemudian, muncullah Susi dari balik pintu, masih memakai
mukena. Kayaknya baru beres salat dhuha.
“Silahkan masuk, Mas
Her, Jeng Lia.” Susi mengajak mereka masuk. Herman dan Liapun masuk. Rumah Susi
sangat sederhana, namun, tampak bersih, harum dan menyenangkan.
Setelah, ngobrol
sana-sini, akhirnya Herman to the point saja. Iapun mengutarakan maksudnya
kepada Susi apa adanya.
“Apa Mas Her, gak akan
nyesel punya istri kayak aku nantinya,” Susi menundukkan pandangannya.
“Insya Allah, abang gak
akan nyesel. Bahkan abang akan nyesel kalau tak bisa menikahimu,” jelas Herman
mantap dengan wajah serius tapi santai.
“Bagus, Bang. Piss,
siip dach,” Lia tersenyum bahagia.
“Jadi, Adik mau
menerima lamaran Abang?” Herman kembali menatap Susi.
“Iya, Bang,” jawab Susi
singkat. Ia tersenyum lalu menundukkan pandangannya. Dan yang jelas, Susi juga
kelihatan bahagia.
“Cihuii,” Lia teriak
kegirangan.
“Sssst,” Li, jangan
berisik,” Herman menempelkan telunjuknya ke bibirnya.
“Alhamdulillah,
Akhirnya lamaran Abangku diterima juga. Terus terus terus hari pernikahannya
kapan nih, he he he,” wuihh, Lia banget gembira sampe tebar pesona segala.
Senyumnya senyum LiaDENT.
“Lusa aja, gimana Dik,
setuju?” tanya Herman pada Susi.
Susi menganggukkan
kepala.
“Alhamdulillah, Abangku
mau nikah lusa. Siip piss degh.” Ekspresi Lia sepenuh hatinya.
***
Saat yang dinanti
akhirnya datang juga. Hari pernikahan Herman dan Susi telah tiba. Akad nikah
dilaksanakan di rumah Herman. Setelah wali hakim, dan pihak dari P3N datang.
Akadpun dilaksanakan. Walau acaranya cukup sederhana. Namun, kegembiraan terasa
banget menyelimuti tempat tersebut.
“Terima kasih banyak
Def, Mbak Mia, Mas Sodiq, Dechi, and temen-temenku semua.” Herman berdiri
mengucapakan ucapan terima kasih kepada teman-temannya yang udah hadir di hari
istimewa itu.
***
sekian dulu sohib muda
sekalian. Bila ada hal yang kurang berkenan, mohon dimaafin. Piss sipp, dech.
2 komentar:
mo ngelamar susi ya bro, moga sukses jemput soulmatenya bro, cerpennya bagus, lanjutkan
@ Rin, makasih telah berkunjung.saya udah merit,hehe. ini para pelakunya dari member opera.com buat hiburan & mengasah kemampuan saya.
Posting Komentar