Minggu, 15 Desember 2013

Buah Amal Kebaikan

Pagi itu langit tampak mendung sekali. Tepatnya di daerah Suka Miskin hujan turun deras sekali. Saat itu Dani dan istrinya, Fitri, dengan Avanza merahnya sedang melaju dengan kecepatan lambat menuju arah barat. Baru beberapa meter, mata Fitri melihat sesuatu yang mengagetkan di pinggir jalan.
            “A, lihat itu! Ada tubuh yang tergeletak di bawah pohon. Mana lagi hujan besar. sepertinya dia seorang pedagang.  Soalnya ada keranjang kecil di sisinya,” Fitri mengarahkan telunjuknya ke arah tubuh yang tergeletak itu.
            “Mana Fit?” Dani bertanya sambil mengikuti arah telunjuk Fitri.
            “A, coba mobilnya ke pinggirkan. Aku kasihan melihatnya. Cepat ya A. kita tolong saja.” Pinta Fitri agak memaksa.
            “Tunggu Fitri, apa ini bukan sebuah jebakan?”
            “Kenapa, Aa takut mati? Apakah ini perbuatan yang salah dalam pandangan Allah?” sahut Fitri dengan suara lembut sambil terus mengarahkan pandangannnya ke arah tubuh tersebut. Setelah  lebih dekat, Fitri melihat ternyata ia seorang wanita.
            Mobil mereka telah berhenti di pinggir jalan tepatnya di bawah pohon dekat tubuh wanita itu terbaring. Suasana terasa hening sejenak. Dani tampak merenung untuk beberapa saat. Nampaknya ia mencoba merenungkan dan menghayati ucapan istrinya yang menembus relung-relung hatinya.
            “Baiklah istriku Sayang, hatiku mengerti sekarang. Terima kasih telah mengingatkanku. Kita serahkan saja semuanya kepada Allah. Tak ada niat buruk dalam hati kita. Hasbunallah wani’mal wakil[1],” bisik Dani kepada istrinya dengan penuh keyakinan.
            Kemudian mereka mengambil jas hujan sebelum keluar mobil. Lalu pintu mobilpun terbuka perlahan. Fitri keluar disusul Dani menuju ke arah tubuh yang masih tak bergerak itu. Sementara itu hujan masih turun dengan derasnya.
            “Masya Allah, A! ternyata seorang gadis belia. Dugaanku  benar, A. ia seorang pedagang makanan,” teriak Fitri kaget. Ia melihat pisang goreng, bala-bala dan makanan lainnya tercecer di sekitar gadis itu.
            “A, ko malah bengong. Ayo kita bawa gadis ini ke dalam mobil untuk kita selamatkan nyawanya,” Fitri tampak kesal melihat suaminya yang terdiam.
            Dani tetap terdiam. Ia tampak seperti berpikir lagi. Ia terdiam untuk beberapa menit.
            “Fit, tunggu di sini sebentar. Aku mau ke warung itu dulu.”
            “Iih Aa tuh gimana sih! Jangan membuat aku jengkel dong, A!” Fitri tambah kesal dengan tingkah laku suaminya.
            “Pokoknya tunggu di sini. Jangan cerewet,” dengan wajah tenang Dani kembali membalas tanpa secuil alasanpun. Ia berlari dengan agak cepat ke arah barat menuju sebuah warung yang jaraknya kira-kira 200 meter dari tempat tergeletaknya wanita itu.
            Setelah sampai di depan warung itu kemudian Dani mulai berdialog dengan orang yang ada di warung tersebut. “ Bu, maaf mengganggu sebentar. Ibu bisa membantu saya nggak?” Pinta Dani dengan nafas agak terengah-engah.
            “Mhh, ada apa Nak?” Tanya si ibu penuh tanda tanya. “ Apa yang bisa Ibu bantu?”
            Lalu Dani menceritakan apa yang telah dilihatnya. Mendengar hal itu si Ibu terlihat kaget. Ia langsung mengambil payung dan iapun melangkah dengan agak cepat bersama Dani menuju tempat tergeletaknya wanita muda itu. 
            “Haah, ini Nina! Nak, ayo cepat bawa ke rumah ibu ya,” Si Ibu terlihat sangat kaget, khawatir dan salah tingkah. Tanpa banyak berpikir, Dani dengan Fitri langsung membawa tubuh tersebut ke dalam mobil. Si Ibu juga ikut.
            Setelah sampai di depan warung, Dani langsung turun dari mobil dan membawa tubuh wanita muda itu ke dalam rumah ibu pemiliki warung tersebut.
            “Neng, kita bawa tubuh Nina ke kamar ibu, ya.”
            “Mangga , Bu,” sahut Fitri tanpa banyak basa-basi. Kemudian mereka berdua membawa tubuh Nina ke dalam kamar.
            “Neng, kita letakkan di atas karpet saja. Nggak apa-apa basah juga.”
            “ Baik Bu,” jawab Fitri singkat.
            “Neng, tolong keringkan tubuh Nina dengan handuk ini, ya? Dan ini selimutnya,” pinta si Ibu sambil menyerahkan sebuah handuk biru tua dan selimut biru tebal kepada Fitri. Lalu  si Ibu keluar dari kamar itu entah kemana.
            Dengan perasaan grogi Fitri membuka pakaian Nina yang basah kuyup dengan sangat hati-hati. Setelah beres iapun mengeringkan tubuh Nina dengan handuk yang telah tersedia. Lalu ia menyelimuti tubuh nina dengan selimut biru.
            Tak lama kemudian datanglah si ibu dengan membawa pakaian. “ Neng, ini pakaian punya anak Ibu yang masih sekolah di SMU. Pakaikan ke Nina, ya Neng, Ibu mau mengambil minyak kayu putih dulu.”
            “Ya, Bu,”Fitri kemudian memakaikan pakaian itu sambil menatap wajah Nina. Tiba-tiba saja kedua matanya mengeluarkan butiran-butiran bening. Satu persatu berjatuhan ke atas tubuh Nina. Rupanya ia terharu. Setelah selesai ia kembali menyelimuti Nina dengan selimut biru itu.
            Tak lama kemudian si ibu warung masuk lagi dengan membawa minyak kayu putih, segelas air jeruk dan segelas teh manis hangat.”Alhamdulillah,telah beres ya Neng.”
Kemudian si ibu warung meletakkan jus jeruk dan teh manis diatas lantai. Ia jongkok lalu membuka tutup botol minyak kayu putih. Lalu iapun mengoleskan minyak kayu putih ke daerah yang terletak antara bibir dan hidung. Setelah selesai ia keluar lagi.
            Tubuh Nina masih tergeletak tak berdaya. Lalu Fitri mengambil minyak kayu putih yang ada di samping tubuh Nina kemudian berdoa dengan khusyu penuh kerendahan hati,”Ya Allah sadarkanlah gadis ini.” Fitri mengoleskan minyak kayu putih ke bagian bawah hidung Nina.
Setelah beberapa menit, Nina tampak mulai siuman. Kedua matanya mulai terbuka perlahan. Fitri merasa gembira melihatnya. Beberapa menit kemudian terdengarlah suara Nina yng masih lemah,” Ibu, Ibu! Oh, dimana aku?”
Bersamaan dengan itu datanglah si ibu warung membawa segelas teh manis untuk Fitri.”Alhamdulillah, akhirnya Nina siuman juga. Syukurlah.”
Fitri mengangkat kepala Nina sedikit agar bisa meminum teh manis yang telah tersedia. Fitri mengambil segelas teh manis untuk Nina dan kemudian mendekatkannya ke bibir Nina. Ninapun meminumnya sedikit demi sedikit.
“Teteh, makasih ya. Teteh baik sekali,” bisik Nina sambil menatap wajah Fitri dengan rasa senang dan terharu.” Bu Ria, makasih juga ya atas kebaikan ibu.”
“Oh, nggak apa-apa Nin, itu sudah menjadi kewajiban ibu. Eh, Nina suka madu nggak.”
“Suka, Bu.”
“Ya, syukurlah. Kalau begitu ibu mau buatkan segelas minuman madu supaya Nina cepat pulih. Tunggu ya,” Ibu Ria kemudian melangkah keluar kamar lagi. Tak lama kemudian datanglah Ibu ria membawa segelas madu yang telah dicampur dengan air hangat dan sekaleng kue wafer.
“Nin, ini, minumlah Nak. Dan ini wafer kesukaanmu,” ujar Bu Ria dengan membawa segelas minuman dan sekaleng wafer.
“Baiklah, Bu. Makasih banyak atas pertolongannya,” balas Nina. diambilnya segelas madu kemudian langsung meminumnya.
“Eh, Adik udah makan, belum?” Fitri mulai berempati.
“Belum Teh. Dari pagi saya belum makan.”
“Wah, kasihan atuh. Silahkan wafernya diminum ya,” ujar Bu Ria.
“BU, masak wafer diminum sih,” Fitri tersenyum mendengarnya.
“Hehe.. Bu Ria, masak saya harus minum wafer, ah,” Nina ikut tersenyum sambil memandang Bu Ria.
“Eh, iya lupa. Maklum sudah tua, hehe. Eh, Neng namanya siapa ya? Terus  itu yang tadi suaminya ya? ”
“Bu Ria, nama saya Fitri. Yang duduk di depan namanya Dani. Ia suami saya. Kami baru menikah 2 bulan,” sahut Fitri tersenyum manis.
“Ooh, pengantin baru toh. Cocoklah Neng. Sama-sama baik hati, dan cakep,” balas Bu Ria tersenyum. Ia  mengedipkan matanya kepada Nina.” Neng, silahkan dimakan Wafernya. Nin, ayo makan. Supaya cepat pulih.”
“Iya, Bu. Baiklah. Teh Fitri, temani saya makan ya,” Nina melirik Fitri . tangan kanannyal mengambil kue wafer.
“Iya Dik. Teteh temani deh,” balas Fitri.  Dan iapun mengambil kue wafer dari kalengnya.
 Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Nina, Fitri, Dani dan Ibu Ria berada di ruang tengah. Kini Nina telah kelihatan agak pulih.
“Bu Ria, saya mau pulang dulu. Makasih banyak atas pertolongannya, Bu. Semoga Allah membalas kebaikan Ibu. Maafkan saya karena telah merepotkan keluarga Ibu  di sini. Saya tak bisa membalas kebaikan Ibu,” Ucap Nina dengan air mata berurai.
“Tak apa-apa Nin. Sudahlah, jangan dipikirkan. Ibu rela kok, Nin. O ya, baju Nina yang basah sudah dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam. Adapun baju anak Ibu, pake saja dulu ya.”
“Ya, Bu. Makasih banyak,” Nina mencium tangan Ibu Ria dengan penuh rasa hormat.
“Bu Ria, terima kasih banyak atas semua bantuannya. Semoga Allah membalas kebaikan Ibu,” susul Dani.
“Iya, Bu. makasih banyak atas kebaikannya hatinya,” Fitri tak mau ketinggalan untuk mengucapkan seucap kata terima kasih.
Akhirnya mereka bertiga pamitan kepada Ibu Ria untuk pergi menuju rumah Nina. Mereka bertiga melangkah perlahan menuju Avanza merah. Sebelum melajukan kendaraannya, Dani melambaikan tangannya kepada Ibu Ria. Nina dan Fitripun melambaikan tangannya tak mau ketinggalan. 
  Avanza merah bergerak perlahan ke arah barat meninggalkan warung Ibu Ria. Rupanya hujan telah berhenti. Hanya tinggal sisa-sianya saja. Jalan terlihat licin karena derasnya hujan.
“Nina, rumahmu di sebelah mana Dik,” Fitri melirik Nina.
“Teh, di depan nanti ada jalan besar di sebelah kiri. Dari situ lurus saja. Kira-kira telah mencapai 500 meter, kita berhenti. Terus ada gang kecil. Kita masuk ke gang tersebut. Rumah saya dekat dari gang itu.”
“Wah, jauh juga kamu jualan. Apa nggak cape tiap hari jalan kaki, Nin?” Fitri mengerutkan keningnya. 
“Ya, kalau nggak begitu, bagaimana dengan keluarga saya, Teh,” Nina menundukkan kepalanya. Tampaknya ia seperti  menyimpan beban yang cukup berat.
Mobilpun belok ke kiri ketika jalan itu telah di depan mata. Kemudian bergerak perlahan menuju tempat Nina.
“Dik, dimana kita bisa parkir?” tanya Dani dengan suara agak keras agar terdengar jelas oleh Nina.
“Di bawah pohon jambu itu, A,” ujar Nina. ia menunjuk ke sebuah  pohon jambu air yang besar.
Setelah mereka turun, kemudian mereka berjalan menelusuri sebuah gang kecil. Nina berjalan paling depan sebagai penunjuk jalan. Adapun Dani dan Fitri di belakangnya. Akhirnya, sampailah mereka ke sebuah rumah yang sangat sederhana sekali. Dinding atasnya adalah bilik bambu, dinding bawahnya memakai bata dan lantainya adalah tanah. Seperti sebuah rumah yang belum selesai.
“Aa dan Teteh, inilah gubuk kumuh kami,” ungkap Nina merendah. Lalu ia mengetuk pintu perlahan.” Tok..tok..tok..assalamu’alaikum.”
“Dik, jangan bicara seperti itu. Nggak baik lho. Derajat kemuliaan manusia bukan di ukur dari rumahnya. Jangan merendah di depan kami,” suara Fitri mengalir perlahan namun jelas sekali memasuki hati Nina.
“Iya, Teteh Cantik. Makasih atas nasihatnya,” jawab Nina sambil tersenyum penuh rasa hormat kepada Fitri.
“Waalaikum salam,” terdengar suara gadis kecil dari balik pintu.
Tiba-tiba pintu terbuka perlahan. Tampaklah seorang gadis kecil.
“Teteh kemana saja. Icha khawatir banget akan keselamatan Teteh. Waktu berangkat jualan Teteh kan belum sarapan. Takut terjadi apa-apa, ” ujar gadis kecil itu. Iapun  memeluk Nina dengan erat.   
“Teteh nggak apa-apa kok Sayang. Teh Fitri, A dani, silahkan masuk,” Nina memeluk dan mengelus kepala Icha dengan lembut kemudian mengajak Fitiri dan Dani untuk masuk.
“Makasih, Nin,” Dani masuk lebih dulu diikuti istrinya. Kemudian mereka duduk di atas selembar tikar yang telah tua, namun terlihat bersih.
“Nina tinggal bersama siapa di sini?” tanya Fitri penuh penasaran. Pandangannya berkeliling melihat-lihat kedaan rumah.
“Dengan ibu dan adik. Ini adik saya, Icha. Cha, ibu lagi dimana?”
“Lagi di dapur, Teh.”
“Sebentar ya, saya mau ke dapur dulu,” kemudian Nina dan Icha melangkah menuju dapur.
“Oh, silahkan Nin,” balas Fitri. Adapun Dani terlihat diam saja. Nampaknya ia sedang berpikir. Entah apa yang dipikirkannya.
Tak lama kemudian, datanglah Nina dengan membawa dua gelas teh manis, dan Icha membawa makanan. Terlihat pula seorang wanita  mengikuti mereka. Nampaknya itulah ibunya Nina dan Icha.
“Rupanya ada tamu. Uhuk uhuk! Neng dan Aden ini dari mana ya,” wanita itu terdengar batuk beberapa kali. Matanya yang sayu menatap Dani dan Fitri yang tampak cantik dengan jilbabnya yang rapi. Ia nampak heran dengan kedua tamunya itu. Iapun duduk menghadap kepada tamunya. Namun, ia kelihatan minder. Wajahnya menunduk.
“Saya dan istri saya ketemu anak ibu di jalan raya. Ketika,,,,” Dani membalas pertanyaan si Ibu. Namun ia tak melanjutkan ucapannya, karena ia melihat Nina seperti memberi isyarat untuk tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya.
“Ketika Nina sedang jualan, Bu,” Dani melanjutkan jawabannya.
“Nina jualannya tiap hari ya bu,”Fitri menyambung ucapan suaminya sambil mengalihkan arah pembicaraan.
“Iya Neng,” jawab si ibu singkat. Ia kembali menundukkan matanya. Sepertinya ia tak mau bertatapan langsung dengan Fitri. Iapun tak berani menanyakan sesuatu pada Dani. Ia hanya diam saja.
“Aa, Teteh, silahkan diminum. Nggak ada apa-apa kok, Teh. Cuma ada makan alakadarnya,” Nina mempersilahkan Fitri dan Dani untuk mencicipi makanan dan minuman yang telah ada di depan mata.
“Cha, kelihatannya ibu sakit ya?” Dani melirik Icha sambil meminum teh manis yang telah disediakan.
“Iya, A. Ibu udah seminggu sakit batuk. Nggak ada biaya buat berobat.”
“Ayah Icha kemana?”
“Udah nggak ada, A.”
“Innalillahi wa inna ilahi raji’un. Kasihan sekali Icha,” tanpa terasa air mata keluar dari kedua mata Fitri tanpa bisa ditahan. Ia memang orangnya begitu. Tak tegaan melihat penderitaan orang. Apalagi penderitaan anak kecil.
Dani terlihat menundukkan kepala. Ia tak menangis seperti istrinya. Namun, wajahnya kelihatan sedih. Mungkin hatinya tersentuh dengan keadaan keluarga Nina. Seorang muslim yang beriman tentu akan terharu melihat keadaan keluarga Nina yang tampak begitu menyedihkan.
“Nina, bisa antar Teteh ke dapur?” tiba-tiba Fitri bangkit dari duduknya dan mengarahkan pandangannya kepada Nina.
“Mangga, Teh,” Nina ikut berdiri.
“Maaf ya, Bu. saya ikut ke dapur dulu,” pinta Fitri.
“Mangga, Neng.”
Kemudian Fitri dan Nina melangkah menuju ke dapur. Setelah tiba di dapur Fitri mengelilingkan pandangannya dan bertanya,” Nina, dimana tempat menyimpan berasnya?”
“Di sana, Teh, di sudut kanan.”
Kaki Fitri perlahan melangkah menuju tempat tersimpannya beras. Setelah terlihat, tiba-tiba Fitri menangis. Namun, tak keras karena ia tahan.
“Teh, kenapa menangis?” tanya Nina.
“Ooh, hik hik hik,” Fitri terus menangis. Ia tak bisa bicara. Emosinya telah menguasai jiwanya. Iapun mendekati Nina dan memeluknya dengan penuh rasa sayang. Kepala Nina dielusnya dengan lembut.
“Nina, tolong suami saya suruh ke sini,” bisik Fitri pelan.
Nina melangkah menuju ruang tengah. Tak lama kemudian datanglah Dani.
“A, lihat ke sini,” Fitri menarik tangan Dani sambil melangkah menuju tempat penyimpanan beras. Setelah dekat Danipun menunduk.
“Inna lillah,” Dani terus menunduk di dekat tempat penyimpanan beras.Ia melihat hanya segenggam beras yang masih tersisa di sana. Kali ini ia kalah oleh air matanya. Ia tak mampu lagi menahan air matanya yang sejak tadi ia tahan. Dani menarik napas perlahan, dan iapun menghapus air matanya dengan sapu tangan yang ada di saku jaketnya.
“A, kita pergi ke luar, yuk. Aa kan sudah melihat sendiri keadaan saudara kita ini. Mereka sangat membutuhkan bantuan,” ajak Fitri sambil menarik tangan Dani dengan lembut sambil melangkah ke ruang tengah.
Setelah sampai di ruang tempat berkumpul, Fitri, Dani, dan Nina kembali duduk bersama ibunya Nina dan Icha.
“Bu, sebelumnya saya minta maaf, saya nggak ada niat buruk. Saya dan istri saya ingin mengajak keluarga ibu untuk jalan-jalan ke luar sebentar. Mau kan Bu?” Dani berusaha membujuk sang Ibu.
“Jangan, Nak. Ibu tak mau merepotkan keluargamu. Jangan ya.”
“Iya ,Aa. Jangan. Kami malu sudah banyak merepotkan keluarga Aa,” susul Nina dengan halus menolak ajakan Dani.
“Tak apa-apa, Bu. kami tak merasa direpotkan. Justru kami sangat senang bila bisa menyenangkan Ibu dan anak-anak ibu. Nina Sayang. Kalau Nina menganggap teteh sebagai kakakmu, jangan tolak permintaan teteh. Bisa kan Sayang?” Fitri angkat suara. Ia membantu Dani untuk membujuk keluarga Nina.
“Cha, kenapa Icha pucat begitu,” Fitri memandang Icha dengan tat5apan haru.
“Belum makan dari pagi. Badanku juga kurang sehat, ” jawab Icha lemah. Wajahnya tampak pucat.
Tanpa banyak basa-basi Dani keluar dari rumah. Tak ada yang tahu entah kemana Dani pergi.
“Aaa, mau kemana?!” teriak Fitri. Namun terlambat, Dani telah pergi dengan cepat.
Beberapa menit kemudian,” Assalamu’alaikum.”
Dani datang kembali dengan membawa makanan dan buah-buahan.
“Ooh, rupanya Aa mengambil makanan ya. Maafkan aku ya A. suka berburuk sangka padamu. He he ,” Fitri tersenyum malu pada suaminya.
“Tak apa-apa. Lain kali jangan ulangi lagi ya,” Dani membalas senyuman istrinya lalu meletakkan makanan dan buah-buahan di atas tikar tua itu.
“Nina, tolong ambilkan piring dan sendoknya ya. Kasihan adikmu,” pinta Fitri.
Nina segera melangkah ke dapur. Tak lama kemudian iapun membawa piring dan sendok.
Fitri mengambil piring dan sendok. Lalu mengeluarkan sebungkus roti tawar yang bagus, selai strawbwerry, dan mentega.
“Cha, ini makan coba. Enak lho Cha,” Fitri menawarkan roti tawar yang telah diolesi  mentega dan selai strawberry.
“Iya, Teh. Kayanya enak ya,” Icha tersenyum menatap roti spesial yang ditawarkan Fitri lalu iapun mengambilnya. Lalu Icha memakannya dengan lahap sekali karena ia telah merasa lapar.
“Ibu dan Nina kalau mau silahkan ambil,” Fitri memandang Nina dan ibunya. Nina mengambil satu dan ibunyapun mengambil satu. 
Dani kelihatan lega melihat keluarga Nina memakan apa yang telah dibawanya. Ia puas dan mengucapkan rasa syukur dalam hatinya kepada Yang Maha Pemberi Rezeki.
“Bu, ini 2 bungkus roti, 2 bungkus mentega dan 1 botol selai strawberry untuk keluarga ibu di sini. Ambil ya Bu, jangan menolak pemberian kami,” Dani menyerahkan semua itu kepada ibunya Nina.
“Jangan, Den. Ini juga sudah cukup kok. Jadi ngerepotin Aden dan Neng dong,” ujar sang ibu minder. Wajahnya tertunduk malu.
“Nggak apa-apa, Bu. ambil saja. Kami nggak merasa direpotin. Malah kami merasa sangat gembira kalau ibu menerimanya,” Fitri mendukung ucapan suaminya dengan tegas dan jelas.
Setelah mereka kelihatan kenyang, Dani dan Fitri mengajak keluarga Nina untuk pergi jalan-jalan.”Sekarang, kita jalan-jalan yuk. Nggak apa-apa kan, Bu. nggak tiap hari kok.”
“Kemana, Teh. Jangan ah. Entar habis dong uang Teteh dan Aa.”
“Eh, nggak dong, Sayang. Jangan takut. Untuk teteh dan Aa masih ada lho, Nin.”
Karena terus dibujuk tanpa henti oleh Fitri dan Dani, akhirnya keluarga Nina mau juga. Sebelum berangkat, Nina memeriksa jendela rumahnya lalu menguncinya. Setelah semua terkunci iapun mengunci semua pintu rumahnya. Akhirnya mereka berangkat berlima menuju mobil Avanza merah yang ada di bawah pohon jambu.
“Fit, kita sekarang kemana dulu nih,” tanya Dani sambil menatap Fitri.
“Mmhh,, ke grosir sembako dulu  saja. Gimana A, setuju?”
“Boleh,” Dani menganggukkan kepalanya tanda setuju.
“Nina, tahu nggak grosir sembako terdekat?” Fitri beralih ke Nina.
“ Ya. Di daerah Cicadas, Teh.”
Beberapa menit kemudian mobil bergerak menuju Cicadas. Sesampainya di sana, mereka turun menuju grosir sembako yang ada di sana.
“Fit, kira-kira apa yang akan kita beli?”
“Coba lihat ini,”Fitri menyerahkan secarik kertas. Di dalamnya tertulis secara rinci sebagai berikut: beras 2 karung, minyak goreng yang 500ml 2 botol. Kecap 2 botol, telor 1kg, garam 2 bungkus dan terigu 2 karung. “Gimana, A, setuju?”
“Mmmhh, boleh,” Dani mengambil secarik kertas dari tangan Fitri, lalu menyerahkannya kepada pelayan toko.”Pak sekalian tolong masukan ke mobil saya, ya?”
“Baik, Pak,” balas pelayan toko, singkat.
Setelah semua barang berada di mobil, semua naik kembali. Mobil bergerak kembali menuju arah timur. Di sepanjang perjalanan, Dani mengarahkan matanya dengan tajam, seperti ada yang dicari. Ketika melihat apotik, iapun menghentikan mobilnya. Iapun turun.
“Aa, mau apa ke apotik,”Fitri bertanya penuh teka-teki dari dalam mobil.
“Mau beli obat buat Ibunya Nina,” bisik Dani pelan ke telinga Fitri.
“Obat apa, A?”
“Madu.”
“Memang madu bisa dipakai untuk obat batuk?” Fitri tampak keheranan.
“Bisa. Aku mendapat informasinya dari majalah-majalah kesehatan dan pengalaman dari teman-temanku. Makanya harus sering baca informasi tentang kesehatan. Jangan ketinggalan,” balas Dani, mantap. Kemudian ia melangkah  menuju apotik.
“Bu, suka madu, nggak?”sekarang Fitri membalikkan badannya ke arah Ibunya Nina.
“Suka, Neng. Anak-anak juga pada suka.”
“Memang dari dulu suka minum madu ya Bu?” susul Fitri.
“Iya, Neng. Ketika ayah Nina masih ada. Ia suka membeli madu sebulan sekali untuk keluarga di rumah,” jelas Ibunya Nina.
Tak lama kemudian Dani turun dari apotik membawa sebotol madu. Setelah masuk iapun mngendarai mobilnya kembali menuju rumah Nina. Tepat pukul 11.30, mereka telah sampai di rumah. Barang-barang juga telah diangkut semuanya ke dalam rumah. Keluarga Nina, walaupun merasa agak malu terhadap keluarga Dani, namun sesungguhnya mereka merasa senang, terharu, tersentuh dan gembira dengan kebaikan Dani dan Fitri yang tampak sangat baik dalam pandangan mereka.
“Bu, terimalah ini semua dengan hati terbuka ya. Jangan tolak ya Bu. Saya hanya bisa membantu ibu secara sederhana. Semoga semua ini berguna bagi keluarga ibu,” ucap Dani merendah.
“Iya Bu. hanya ini yang bisa saya berikan. Semoga ibu cepat sembuh ya,” susul Fitri.
Ibunya Nina tampak tertunduk dan berurai air mata. Hatinya pasti tersentuh dengan kebaikan keluarga Dani.”Makasih banyak ya, Nak. Ibu nggak bisa membalas kebaikan Neng dan Aden. Semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik.”
“Amin. Makasih ya Bu atas doanya,” sambut Fitri.
Tepat pukul 12.05 Adzan Zuhur berkumandang. Dani bersiap-siap untuk shalat berjamaah di masjid terdekat. Sementara itu Fitri, Nina, Icha dan Ibunya bersiap-siap untuk shalat berjamaah di rumah mereka. Setelah selesai shalat, merekapun berkumpul kembali di rumah Nina.
“Bu, karena hari telah siang, maka saya dan istri saya mau pamit dulu. Terima kasih atas sambutan baik keluarga di sini. Saya merasa senang berkunjung ke sini,” ungkap Dani sambil tersenyum gembira. Uang yang telah ia keluarkan tak membuat  hatinya terbebani. Namun malah membuat hatinya puas, bahagia dan gembira karena telah dijadikan Allah sebagai jalan untuk menolong orang yang sedang dilanda kesulitan. Ya, ini adalah nikmat yang patut disyukuri. Mendapat taufik dari Allah untuk berbuat kebaikan adalah nikmat yang tiada terkira bagi hati yang beriman.
“makasih Aa, Teteh,” bisik Nina pelan sambil memeluk Fitri dengan air mata bercucuran.
“Iya, Teh,” susul Icha ikut memeluk Fitri juga sambil menangis.
“Tak apa-apa adik-adiku yang baik. Teteh merasa senang kok dengan kalian,” balas Fitri dengan air mata berlinang. Ia seperti kepada adiknya sendiri.
Setelah mengucapkan kalimat perpisahan, Dani dan Fitri melangkah keluar menuju mobil mereka. Sementara itu Nina, adiknya dan ibunya mengantarkan mereka menuju mobil mereka. Setelah Avanza merah bergerak menuju jalan raya, Nina sekeluarga kembali ke rumahnya.
Sementara itu Dani dan Fitri bergerak menuju arah barat. Sepertinya mereka menuju suatu tempat.
“A, gimana, jadi nggak, kita ke Lembang. Kita kan udah janji sama ayah dan ibu,” Fitri  memandang ke arah Dani.
“Iya, jadi. Kenapa tidak,” ujar Dani memastikan.
“Kalau begitu kita belanja dulu, ya, untuk oleh-oleh,” Fitri mengusulkannya pada Dani.
“Tentu, dong. Dimana maunya?” Dani balik bertanya.
“Di daerah Geger kalong aja ya?” pinta Fitri.
“Boleh,” balas Dani tegas. Setelah memasuki daerah Geger kalong, Avanza merah berhenti di sebuah  toserba yang cukup besar. Kemudian mereka keluar menuju pintu masuk.
“Aa mau beli apa?” Fitri melirik suaminya.
“Terserah saja. Aa mau cari buku, Sayang,” Balas Dani sambil menggandeng  tangan istrinya.
Akhirnya Dani mengikuti Fitri untuk membawakan barang-barang yang mau dibeli. Setelah membeli semua yang dibutuhkan, lalu Dani melihat buku-buku yang tertata rapi di etalase buku. Setelah selesai belanja di toserba tersebut, mereka menuju ke mobil mereka. Baru beberapa langkah, terdengarlah adzan Ashar. Akhirnya mereka melangkah menuju masjid yang ada di dekat toserba tersebut. Setelah selesai shalat, mereka kembali menuju mobil mereka untuk melanjutkan perjalanan menuju daerah Lembang.
Ketika mereka telah sampai di dalam mobil, tiba-tiba langit tampak mendung kembali. Awan hitam tampak bergumpal di angkasa. Suara petir terdengar menggelegar memekakkan telinga. Tak lama kemudian, turunlah hujan dengan derasnya. Suasana sore itu terasa agak mencekam.
“Aa, aku takut. Teruskan atau jangan ke Lembangnya?” Fitri tampak agak ketakutan.
“Ya, teruskan saja. Kenapa harus dibatalkan. Ayo kita berangkat, Sayang,” jawab Dani mantap. Akhirnya Avanza merah bergerak perlahan meninggalkan toserba menuju jalan raya.
Mobil mereka bergerak perlahan meninggalkan daerah Geger kalong. Langit masih tampak hitam kelam. Hujan terus mengguyur daerah tersebut. Ketika di tempat yang agak sepi, tiba-tiba dari belakang mereka ada sebuah mobil bergerak cepat dan menghadang Avanza merah mereka. Dani tak berkutik dan Fitri kelihatan sangat panik.
“A, perasaanku nggak enak,” Fitri ketakutan sambil memeluk suaminya.
“Tetap tenanglah, Sayang. Berdoalah kepada Allah supaya kita ditolong-Nya,” ujar Dani mantap. Akhirnya Fitripun berdoa dalam ketakutan.
Tiba-tiba pintu mobil ada yang menggedor dengan sangat keras. Terlihat di luar seorang lelaki bertopeng mengacungkan samurainya.”Hai! cepat keluar! atau kubunuh kalian!” teriak lelaki bertopeng yang berdiri dipintu kanan mobil.
“Iya, cepat keluar!” teriak seorang lelaki bertopeng lainnya yang berdiri di pintu kiri mobil. Iapun menggedor pintu kiri mobil dengan sangat keras.
Akhirnya Danipun keluar untuk menyelamatkan nyawa dirinya dan istrinya. Namun Dani tampak tenang. Ia tampak benar-benar pasrah kepada Allah. Demikian juga dengan Fitri. Kemudian mereka keluar, sementara samurai menempel di leher masing-masing. Setelah Dani dan Fitri keluar, para perampok itu memukul Dani dan membawa kabur mobil Avanza merah tersebut serta menjambret perhiasan yang ada di tangan dan leher Fitri.
“Fitri, mari kita berdoa kepada Allah. Tak ada yang mustahil bagi-Nya,” ajak dani kepada Fitri,”Kita bertawassul saja dengan amal kita.”
“Iya ,Aa.,” balas Fitri gugup. Sementara itu, langit masih mendung dan hujan masih deras mengguyur Fitri dan Dani.
“Ya Allah, jika perbuatan kami tadi adalah karenamu, maka tolonglah kami ya Allah,” bisik dani penuh kekhusyuan. Matanya tertutup dengan khusyuk.
Beberapa menit kemudian, tiba-tiba datanglah sebuah mobil sedan milik polisi dan motor patroli muncul.
“Eh, Pak Dani, sedang apa di sini,” teriak seorang polisi.
“Pak Budi?” Dani tampak kaget campur gembira. Kemudian Dani menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya. Tanpa banyak basa-basi Dani dan Fitri langsung di suruh naik ke mobil patroli. Sementara itu motor besar milik Pak Budi telah melesat memburu para perampok. Adapun sedan polisi mengikuti dari belakang.
Setelah menempuh jarak 1 kilo meter Pak Budi melihat Avanza merahnya miliki Dani. Adapun di depan Avanza merah itu terlihat mobil sedan hitam. Mobil itu kian cepat bergerak ketika di belakang mereka terlihat ada motor dan mobil polisi. Namun ada hal yang aneh. Tiba-tiba mobil itu berhenti. Mungkinkah bensinnya habis? Namun sedan hitam itu terus kabur. Tanpa basa-basi, Pak Budi mengacungkan pistolnya ke arah para perampok yang masih ada di dalam mobil Avanza merah. Demikian juga dengan teman-teman Pak Budi yang ada di dalam sedan segera keluar dengan senjata lengkapnya.
“Cepat keluar!” teriak Pak Budi sambil menodongkan senjatanya ke arah perampok yang menyetir mobil tersebut.
“Keluar! Serahkan senjata kalian!” gertak teman-teman Pak Budi Dengan mengecengkan senjata laras panjangnya kepada perampok yang ada di dalam mobil.
Para perampok itu kelihatan gugup. Mereka tampak gentar dengan moncong senapan yang setiap saat pelurunya bisa menembus kepala mereka. Mereka semua berjumlah tiga orang. Mereka langsung diborgol. Samurai mereka segera diamankan. Pak Budi memeriksa identitas mereka. Dari salah seorang perampok itu ditemukan STNK mobil sedan yang sedang kabur. Pak Budi langsung mengambil handphone dan menghubungi temannya yang lain agar melacak mobil sedan tersebut.
“Pak Dani, ikut sebentar ke kantor kami ya, untuk dimintai keterangannya saja,” pinta Pak Budi sambil menepuk-nepuk pundak Dani.
“Tentu, Pak. Dengan senang hati,” balas Dani tersenyum. Kemudian ia melangkah bersama istrinya menuju mobil mereka dengan badan basah kuyup. Namun sayang, mobil mereka mogok. Ternyata bensinnya habis. Akhirnya mereka minta bantuan pak budi  dan kawan-kawannya untuk mendapatkan bensin.
Pak Budi yang baik hati bergerak mencari pom bensin terdekat bersama Dani. Setelah beberapa menit Dani sampai juga di sebuah pombensin terdekat. Kemudian dengan bantuan teman Pak Budi, mobil Dani ditarik dengan mobil polisi sampai ke pom bensin
 Setelah selesai mengisi mobilnya dengan bensin, Dani menghidupkan mobilnya. Lalu mereka semua bergerak menuju kantor polisi. Setelah memberikan keterangan kepada pihak kepolisian, Dani dan Fitri akhirnya bergerak menuju rumah orang tua mereka. Akhirnya merekapun tiba di depan rumah orang tua mereka.
“Fitri Sayang, jangan membicarakan kejadian tadi kepada ayah dan ibu ya.”
“Iya, A. Aku juga nggak mau mereka bersedih karena kejadian ini.”
ketika berada di depan pintu Dani mengetuk pintu dan mengucapkan salam,” Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam, Dani, Anakku. Wah kehujanan ya, kasihan. Kamu juga Fit.”
“Ya, Ayah. Hujan sangat deras,” jawab Dani dengan melempar senyuman.
“Ibu mana, Ayah,” tanya Fitri.
“Ada di dalam. Masuk dulu saja. Ganti baju kalian segera.”
“Baik, Yah,” balas Dani dan Fitri serentak.
Kemudian Dani dan Fitri pergi ke kamar untuk mengganti baju yang basah. Setelah beres, merekapun keluar menemui orang tua mereka.
“Bu, kami bawa oleh-oleh untuk ibu, ayah, dan Santi,” Dani menghadap sang mertua istri sambil mencium tangannya.
“Ibu, sehatkan?” Fitri langsung memeluk Ibunda tercintanya.
“Sehat, Sayang. Kok repot-repot segala.”
“Eh, ada Teh Fitri, sama pacarnya ke sini, hehe,” Santi muncul dari kamarnya menuju Fitri. Ia kelihatan gembira melihat kakaknya datang bersama suaminya itu.
“Eh, Fit, San, kita ambil barang-barang yang ada di mobil yuk. Jangan merepotkan ayah dan ibu,”Dani  menarik tangan Fitri. Fitri dan Santi melangkah mengikuti Dani.
Setelah semua barang selesai di bawa ke rumah, lalu Dani dan Fitri masuk ke kamar Yang telah disiapkan untuk istirahat mereka. Kemudian Dani dan Fitri duduk di atas karpet biru yang ada di dalam kamar tersebut. Suasana terasa hening sejenak. “Fitri, kamu lapar nggak, Sayang?”
“Eh, Aaku Sayang pasti lapar ya. Tunggu sebentar,” Fitri mengerti perkataan suaminya. Setelah mencium tangan suaminya iapun melangkah keluar kamar. Tak lama kemudian ia membawa roti, margarine dan selai kesukaan suaminya. Sementara itu Santi mengikuti dari belakang Fitri membawa segelas susu. Santi pergi lagi sambil menutup pintu kamar.
“A, disuapi ya?” Fitri memandang Dani sambil menawarkan jasa spesial buat suaminya.
“Jangan, ah. Kaya yang baru nikah saja.” Dani tertawa kecil.
“Aa Sayang jangan menolak dong. Mau ya?” Fitri terus membujuk tanpa mau menyerah.
“Boleh,” Dani menyetujuinya karena tak mau mengecewakan istri tercintanya.                 
Setelah mereka selesai makan, mereka kembali istirahat dan mulai berbincang-bincang lagi.
” A, aku teringat tentang hadits yang menceritakan tentang orang yang terjebak di dalam goa,” Fitri mulai bercerita.
“Yang goanya itu tertutup batu besar?” tanya Dani.
“Benar, Sayang.” Jawab Fitri.
“Ya, mereka memohon pertolongan Allah dengan cara bertawassul dengan amal baik yang mereka lakukan,” susul Dani.
“Iya, A. makanya, Berbuat baik karena Allah itu harus kita pertahankan agar kita mendapat pertolongan Allah di waktu kita mendapat kesulitan.”
“Benar. Aku setuju sekali. Hatiku yakin, pertolongan Allah telah datang kepada kita tadi, dan hatiku sedikitpun tak ragu dengan pertolongan-Nya,” jelas Dani mantap.
“A, aku bahagia punya suami sepertimu. Aa tuh cerdas, baik hati, lembut, perhatian dan penyayang,” Fitri memuji Dani sambil tersenyum manis. Ia memandang suaminya dengan pandangan yang penuh kepuasan.
“Segala kebaikan hanya dari Allah. Aku tak punya apapun. Jangan memuji ah, malu. Nanti aku jadi nggak ikhlas lho,” Dani menundukkan matanya dan ia tetap berusaha merendah.
 Tiba-tiba terdengarlah azan Magrib berkumandang dengan indahnya memanggil hati yang rindu kepada kekasih sejati yang Maha Penyayang. Memang, dengan shalat, hati manusia diharapkan menyadari dan merasakan kelemahan dirinya di bumi ini dan menyadari kemahakuasaan Allah sebagai Penguasa Alam semesta. Apalagi ketika ia dihadapkan pada masalah berat. Ketika itu jelas sekali terasa batas yang ada dalam diri manusia. Akhirnya tiada daya untuk memperoleh manfaat dan tiada kekuatan untuk menolak madarat kecuali hanya dengan pertolongan-Nya. 



[1] Cukuplah Allah bagi kami, sebaik-baik WAKIL