Rabu, 04 April 2012

cerpen


Menjemput Soulmate

Pukul 11.30 malam, Herman baru tiba di depan pintu rumahnya. Setelah mengucapkan salam dan mengetuk pintu, pintupun terbuka dari dalam.
“Wah, Abang kecapean kayaknya. Dari mana dulu Bang?” tanya adiknya, Lia.
” Tadi ada masalah  di rumah yatim. Seorang anak perempuan yang masih duduk di bangku SMU, nekad mau kabur. Untung  kepergok oleh Mbak Mia, salah satu pengurus yang kerja hari itu . Alhamdulillah, sekarang udah beres,” Herman membuka jaket kulitnya sambil melangkah masuk rumah. Kemudian langsung merebahkan tubuhnya yang terasa lesu di atas kursi.
“Mau minum apa, Bang? Jus jeruk apa jus anggur?” Lia menatap wajah kakaknya yang kusut agak mengantuk.   
“Jus beruk? Bajigur? Bajigur aja deh. Masak Abang kudu minum jus beruk, apa kata Mas Sodiq nanti,”
“Weleh-weleh, udan nggak koneknih ngomongnya,” Lia ketawa  geleng-geleng kepala.
“Emangnya tadi ngomong apa, Lia?” Herman membuka matanya yang sudah terasa  ngantuk. Kemudian Lia mengulangi kembali ucapannya.”Iya nih. Udah ngantuk. Jadinya nggak konsen,”jawab Herman sambil menguap. Ups, mulutnya ditutup kalau sedang menguap. Sangat wajar bila ia kecapean, karena hari itu ia kerja dari subuh sampe malam. Kerja ekstra yang melelahkan.

 Hari itu, hari libur. Setelah salat subuh, Herman langsung mengumpulkan cucian, kemudian merendamnya dengan deterjen. Setelah itu iapun mencucinya. Setelah mencuci diteruskan dengan memasak. Wuih, capek banget bo. Maklum, belum ada istri. Adapun Lia, udah berangkat kerja sejak pukul 6 pagi. Cucian sering numpuk karena dicucinya juga hanya pas libur saja. Maklumlah, Herman khan orang sibuk. Tapi adiknya juga kadang suka membantu bila sedang tak sibuk. Tapi, kalau dirinya lagi sakit, Herman kerepotan juga karena nggak ada yang melayaninya. Kalau Lia pas lagi nggak kerja, tentu dibantuin. Tapi kalau lagi nggak ada, ya harus melakukan sendiri aja.
“Bang, apa nggak kepikiran punya bini, biar Abang ada yang membantu gitu lho, ngurus kerjaan terus nggak ada ujungnya, Bang,” tanya Lia santai. Sore itu hujan turun rintik-rintik.
“Pernah juga sih terlintas di otakku. Cuma karena sibuk kerja, jadi abang lupa lagi. Lia mau nggak bantuin abang?” Herman menjelaskan kendalanya dan mencoba minta solusi kepada adiknya.
“Insya Allah, Bang, akan saya bantu,” jawab Lia semangat.

***
        Senin, pukul 6 pagi,  hape Herman berdering, lalu ia mengambil hapenya,”Assalamu’alaikum, halo Def, ada apa bro?”
“Begini Mas Her, Rabu datang ke rumahku, oke? ada acara syukuran untuk kelahiran anak pertamaku,” papar temannya tersebut.
“Oke Def. Insya Allah saya ke sana. Rabu pas dikit kerjaannya, jadi saya nggak full kerja.” Setelah selesai, ia menyimpan kembali hapenya ke tempatnya.

***
Rabu, tepat pukul 10 siang, Herman udah ada di rumah temannya, dalam rangka memenuhi undangan temannya itu.
“Makasih, Mas Her, udah mau datang ke acara istimewaku,” sapa teman Herman.
“Sama-sama, Def. makasih kembali udah ngundang saya.”
“Maaf, Mas, udah punya rencana untuk nikah belum?”
“Udah, Def, Cuma saya belum punya calonnya nih,” jelas Herman.
“Mau gadis atau janda, Mas Her? Kayak Dewi Persik atau Mulan Jamilah?” tanya Defi lebih lanjut sambil bercanda.
“Gadis atau janda, ga masalah. yang penting dia baik. Wahh, kayak Mulan Jameelah boleh, tapi harus yang ngerti Islam dong, Def. hehe,  juga usianya ga jauh sama saya.”
“Oke Mas Her. Minggu, aku mau kenalin Mas Her sama seorang gadis. Ia adik temanku. Gimana Mas?”
“Oke, Def. makasih banget atas bantuaannya. Minggu, kita mulai bergerak.”
Setelah acara selesai, Herman kembali pulang ke rumahnya dengan hati gembira karena ada yang mau membantu mencarikan calon pasangan hidup.

***

Hari Minggu yang ditunggu-tunggu Herman akhirnya datang juga. Pukul 7 pagi Herman berangkat ke rumah Defi dengan motor besarnya. Ketika udah tiba di rumah Defi, Herman melihat Defi telah menunggu di pintu rumahnya.
“Silahkan masuk, Mas her,” Defi mempersilahkan Herman masuk ke ruang tamu. Di ruang tamu telah tersedia segelas susu murni yang dicampur madu. Juga sepiring roti keju terenak se Jateng. Tak ketinggalan juga buah anggur, apel merah, jeruk, jagung dan sirsak. Wew, kumplit bho.
“Mas, kita mau pake motor atau mobilku saja?”
“Naik angkot aja Def,” jawab Herman dengan mantap. Defi tampak kebingungan. Sebenarnya ada apa dengan temannya itu? Mata Defi melihat temannya lebih fokus. Ia kaget juga karena pakaian yang dipakai Herman adalah pakaian yang sangat sederhana, kemeja biru dan celana yang telah pudar warnanya. Belel gitu lho. Sebenarnya kurang pantas bila dipakai Herman. Pantasnya dipakai oleh seorang petani. Herman itu kan seorang manajer. Begitu pikir Defi.
“Mas, kenapa pakai sandal jepit karet segala?” protes Defi.
“Nggak masalah, Def. calon bini yang saya  cari adalah yang hatinya hidup. Bukan yang mati hatinya. saya cuma mau nguji mental cewek aja,” Herman menjawab dengan mantap.
“Weleh-weleh, dalam banget bahasanya, kayak seorang filosof aja, Mas Her,” Defi tersenyum mendengar jawaban Herman. Sekarang ia mengerti dengan strategi mencari jodoh yang dijalankan temannya itu.
Akhirnya Herman dan Defi berangkat menuju rumah teman yang dimaksud. Teman Defi itu memang orang kaya. Wuih, rumahnya mewah banget bro. tapi Herman tampak pede aja, tak minder 1 cm pun. Mantap saja berjalan dengan pakaian ala pedesaan dan sandal jepit karetnya itu.
Setelah berada di ruang tamu, Herman dan Defi diterima oleh temannya defi karena mereka udah janjian. Sajian makanan super enak udah siap di meja tamu.
“Gimana, Wand, adikmu, Gina, ada?” defi mulai membuka percakapan.
“Ada Def. lagi dandan kayaknya. Maklumlah, anak cewek suka lama. Silahkan dicoba makanannya def, Mas Herman, silahkan,” Iwand membujuk tamu istimewanya dengan sangat ramah. Udah ganteng, kaya, sangat ramah lagi bro. kayaknya banyak cewek yang jatuh hati sama Iwand.
“Makasih, Wand,” Herman tersenyum pada Iwand dengan ramah.
Beberapa menit kemudian, muncullah Gina dengan ibunya. Mereka mulai memandang Herman dengan tatapan yang angkuh.
“Def, ini pembantumu ya, yang mau dijodohkan dengan anakku udah datang belum?” ibunya Gina memandang Defi dengan pandangan kecewa.
“Ia Mas Def, mana calon Arjunaku itu?” wajah Gina terlihat sinis.
“Maaf, Bu, saya bukan pembantunya Defi, tapi temannya Defi,” Herman menjawab dengan mantap. Ia berusaha menahan diri agar tak terpancing emosi. Ia tenang  saja.
“Def, kamu kesini naik apa, kok mobil barumu tak kelihatan,” kembali Ibunya Iwand menginterogasi Defi. Defi kelihatan kurang nyaman, tapi ia berusaha menenangkan diri karena melihat Herman tetap tenang saja. Baginya, Herman itu seperti kakak kandungnya yang dihormati dan patut dicontoh dalam kesederhanaan dan perilakunya.
“Kami berdua kesini naik angkot, Bu,” jawab Herman mantap. Sang ibu nampak makin sinis penuh keangkuhan. Sementara itu Gina melangkah keluar rumah. Tanpa sengaja ia melihat sandal jepitnya Herman.
“Eh, Mas def, ini sandal jepitnya siapa ya? hi hi hi,” Gina melirik Herman dengan pandangan  meledek.
“To the point aja Bu, gak usah pake ngeledek segala. Ini kan bukan paksaan,” Defi agak emosi juga melihat temannya yang dihormati itu diledek habis-habisan oleh ibu dan adik temannya.
“Def, tahan dirimu,” bisik Herman berusaha menenangkan  Defi.
“Oke, Def, aku dan mamaku mau pergi belanja, daaah,” Gina menarik tangan ibunya, lalu mereka melangkah menuju Xenia merah yang masih mengkilap. Sepeninggal Gina dan ibunya, Herman udah bisa menebak, manusia macam apa Gina dan ibunya itu.
“Mas Def, dan Mas Her, aku minta maaf atas ketidakramahan ibu dan adikku, aku nggak bisa ngomong apa-apa,” Iwand tertunduk malu di depan Defi dan Herman.
“Udahlah, kamu ga salah Wand. Kita tetap sahabatan,” jawab Defi tenang.
“Iya Wand, kamu ga salah, bahkan aku senang berteman denganmu. Kapan-kapan main ke rumah saya  ama Defi ya Wand?” pinta Herman.
“Makasih banget Mas Her. Saya juga senang punya teman baru setenang Mas Her.”
“Oke, Wand, kami cabut dulu deh. Ada  acara lagi. Titip pesan buat adik dan mamamu, buka postingan karya temanku di internet, karya sahabat pena yang berjudul DERAJAT KEMULIAAN MANUSIA, SURUH ibu dan adikmu baca. Mudah-mudahan mereka sadar. Masuk aja ke alamat http://my.opera.com/sahabatpena/, gitu aja dulu Wand. Makasih banyak atas jamuannya,” Defi dan Herman berjabatan dengan Iwand, lalu mereka berdua pergi meninggalkan rumah Iwand.
Di  angkot, Herman bicara sama Defi.”Def, maafin saya  udah bikin kamu jengkel.”
“Ga apa-apa Mas Her, Mas ga salah kok. Aku nyadar, derajat kemuliaan manusia bukan diukur oleh materi, pakaian, atau hiasan dunia lainnya.”
“Syukurlah Def kalau kamu ngerti masalah ini. saya  harap kamu jangan kebawa arus materialisme.”
“Makasih Mas atas nasihatnya. Tetap semangat, Mas. Maju terus pantang mundur.”

***
Sabtu, pukul 11 malam, Herman baru pulang dari tempat kerjanya. Avanza birunya bergerak di tengah guyuran hujan. Sesekali petir menyambar-nyambar membuat hati ciut. Ketika melewati jalanan sunyi, Herman melihat seorang wanita yang sedang menangis di pinggir jalan. Sementara itu di sampingnya tergeletak sesosok tubuh yang tak mampu bergerak lagi. Hermanpun secepat kilat menghentikan mobilnya.
“Dik, kenapa nangis, apa yang terjadi?” Herman menatap sesosok tubuh yang ada di sisi sang gadis.
“Oh, mas Her, baru pulang, Mas. Ini ibuku sakit asma. Udah susah bernafas dari tadi. Akhirnya pingsan,” jelas Susi. Susi adalah teman pengajiannya Herman waktu masih SMA. Setelah Herman udah kerja, ia jarang ketemu Susi. Susi itu orangnya baik. Baik sama orang tuanya, temannya dan tetangganya. Namun, sekarang Susi tinggal sama ibunya yang udah tua lagi sering sakit-sakitan. Sekarang, Susi tinggal sendiri di rumah  mungilnya. Kerjanya adalah jual goreng-gorengan keliling perumahan. Ia  pekerja keras.
“Wuih, ternyata kamu Susi. Ayo kita bawa ibumu ke ruma sakit,” Herman turun dari mobilnya, langsung membawa ibu Susi ke mobilnya. Akhirnya, Susi dan Herman membawa si ibu ke rumah sakit. Setelah tiba di ruma sakit, ia di bawa ke ruang UGD.
“Mas Her, aku gak punya biaya untuk pengobatannya,” Susi tertunduk sambil menangis .
“Sus, ga usah bingung. Biar abang yang nanggung. Ga usah banyak pikiran. Ntar Susi sakit. Tenang aja Sus,” Herman berusaha menenangkan Susi.
Tepat pukul lima pagi,  ibu Susi telah dipanggil Allah. Dokter udah pada nyerah. Menyadari kenyataan itu, Susi menangis tersedu-sedu. Air matanya bercucuran bagai air hujan yang tumpah dari langit. Kini ia hanya seorang diri. Tak ada ayah, ibu, dan tak ada sanak family. Ujung jilbab birunya basah kuyup oleh air mata.
“Susi, tabahkan hatimu, Dik. Bagaimanapun juga kita hanya miliki Allah dan kita pasti kembali kepada-Nya,” Herman menundukkan wajahnya. Ia coba sadarkan dan tenangkan Susi. Akhirnya Susi mencoba untuk pasrah kepada Sang Pencipta.
Tepat pukul 7 pagi, jenazah ibunya Susi dibawa ke tempat tinggal  Susi. Adapun segala pembiayaan di rumah sakit ditanggung  Herman.
Pukul 8 pagi. Ibu Susi telah selesai dimakamkan. Susi kembali menangis. Hati Herman terasa tersayat karena kasihan dengan apa yang menimpa Susi.
Usai acara pemakaman, Susi ditemani Lia, adiknya Herman, juga ditemani, Mia, Rutha, Wilin, Rima,dan Dechi. Adapun Mas Sodiq gak boleh ikut, kan cowok bro he he he.
Setelah Susi  tenang, Lia dan kawan-kawannya mulai kembali ke rumah masing-masing. Mereka kembali seperti biasa. Sejak saat itu, Lia sering main ke rumah Susi dan sebaliknya. Lia senang berteman sama Susi karena ia orangnya baik dan enak diajak ngobrol. Susi orangnya agamis banget, tapi tak menggurui gitu.
***
Di suatu sore, Herman lagi santai di ruang tengah.
“Bang, menurutku, Susi itu orangnya baik, penyabar, pekerja keras, taat dan rajin ibadah,” Lia duduk di samping kakaknya.
“Abang juga udah mikir-mikir buat ngelamar Susi. Dan udah istikhoroh. Hati abang udah sreg kayakknya,” balas Herman.
“Ya udah, Bang. Lamar aja sana. Lagian Susi tinggal sendirian, kasian khan Bang. Nolong orang khan ibadah, Bang,” Lia mencoba membujuk kakaknya dengan halus.
“Insya Allah, abang mau ngelamar Susi esok hari aja. Setuju ga, Lia?”
“Setuju banget Bang. Jadinya aku khan ada teman di sini. Aku ceneng banget berteman sama Susi. Apalagi kalau jadi kakakku, lebih ceneng lagi. Wit wiww,” Lia kelihatan gembira kegirangan.
Pagi itu, langit tampak biru cerah secerah hati Herman dan Lia. Angin berhembus sepoi-sepoi manja. Burung-burung berkicau riang. Pagi itu, Herman dan Lia berangkat menuju rumah Susi yang letaknya hanya 1km saja dari rumah mereka. Mereka naik mobil Avanza biru. Setelah  tiba, mereka berdua turun dan melangkah menuju rumah Susi. Mereka mengetuk pintu sambil mengucapkan salam. Tak lama kemudian, muncullah Susi dari balik pintu, masih memakai mukena. Kayaknya baru beres salat dhuha.
“Silahkan masuk, Mas Her, Jeng Lia.” Susi mengajak mereka masuk. Herman dan Liapun masuk. Rumah Susi sangat sederhana, namun, tampak bersih, harum dan menyenangkan.
Setelah, ngobrol sana-sini, akhirnya Herman to the point saja. Iapun mengutarakan maksudnya kepada Susi apa adanya.
“Apa Mas Her, gak akan nyesel punya istri kayak aku nantinya,” Susi menundukkan pandangannya.
“Insya Allah, abang gak akan nyesel. Bahkan abang akan nyesel kalau tak bisa menikahimu,” jelas Herman mantap dengan wajah serius tapi santai.
“Bagus, Bang. Piss, siip dach,” Lia tersenyum bahagia.
“Jadi, Adik mau menerima lamaran Abang?” Herman kembali menatap Susi.
“Iya, Bang,” jawab Susi singkat. Ia tersenyum lalu menundukkan pandangannya. Dan yang jelas, Susi juga kelihatan bahagia.
“Cihuii,” Lia teriak kegirangan.
“Sssst,” Li, jangan berisik,” Herman menempelkan telunjuknya ke bibirnya.
“Alhamdulillah, Akhirnya lamaran Abangku diterima juga. Terus terus terus hari pernikahannya kapan nih, he he he,” wuihh, Lia banget gembira sampe tebar pesona segala. Senyumnya senyum LiaDENT.
“Lusa aja, gimana Dik, setuju?” tanya Herman pada Susi.
Susi menganggukkan kepala.
“Alhamdulillah, Abangku mau nikah lusa. Siip piss degh.” Ekspresi Lia sepenuh hatinya.
***
Saat yang dinanti akhirnya datang juga. Hari pernikahan Herman dan Susi telah tiba. Akad nikah dilaksanakan di rumah Herman. Setelah wali hakim, dan pihak dari P3N datang. Akadpun dilaksanakan. Walau acaranya cukup sederhana. Namun, kegembiraan terasa banget menyelimuti tempat tersebut.
“Terima kasih banyak Def, Mbak Mia, Mas Sodiq, Dechi, and temen-temenku semua.” Herman berdiri mengucapakan ucapan terima kasih kepada teman-temannya yang udah hadir di hari istimewa itu.
***
sekian dulu sohib muda sekalian. Bila ada hal yang kurang berkenan, mohon dimaafin. Piss sipp, dech.

2 komentar:

Rinagu mengatakan...

mo ngelamar susi ya bro, moga sukses jemput soulmatenya bro, cerpennya bagus, lanjutkan

Deni A.L mengatakan...

@ Rin, makasih telah berkunjung.saya udah merit,hehe. ini para pelakunya dari member opera.com buat hiburan & mengasah kemampuan saya.